MEMBANGUN BIMA DARI PESISIR
Oleh : Muhammad Fahri*)
Mahasiswa Pasca Sarjana Unibraw Malang
dan Staf Pengajar SMKN 1 Bima.
Daerah Bima (Kabupaten dan Kota) terletak pada gugusan kepulauan sunda kecil yang sekarang kita sebut dengan Nusa Tenggara Barat. Merupakan bagian timur dari Pulau Sumbawa. Posisinya sangat penting dalam perspektif Nusantara. Tak heran jika Bima dalam sejarahnya menjadi bagian daerah pelabuhan penting dalam merangkai keutuhan wilayah Nusantara. Bangsa penjajah sebangsa kolonial Belanda menjadikan Bima sebagai daerah transit menuju belahan timur Indonesia baik itu dalam kepentingan penjajahannya maupun dalam regulasi perdagangannya. Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar. Berangkat dari sini, pembangunan Bima sejak dulu telah dirintis dari sektor wilayah laut sebagai titik awal perkembangannya.
Memasuki era modern, perkembangan masyarakat Bima juga masih menitik beratkan wilayah laut termasuk didalamnya komunitas masyarakat pesisir yang mendiaminya. Mayoritas penduduk Bima adalah masyarakat yang egaliterian. Masyarakat yang selalu lebih cepat menerima perubahan yang terjadi pada lingkungan luarnya. Hal ini menjadikan keragaman etnik dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sehingga dinamika kehidupan masyarakatnya selalu berwarna lebih dinamis. Sudah dimaklumi bahwa perkembangan suatu wilayah selalu dimulai dari daerah pesisirnya. Banyak contoh daerah-daerah maju memulai perkembangannya dari wilayah tersebut. Semua itu merupakan ciri yang khas dari masyarakat yang lebih banyak bersentuhan dengan kehidupan pesisir dan laut. Layaknya laut yang juga dinamis dengan debur ombak dan pasang surutnya.
Masyarakat pesisir sebagai bagian terbesar dari komposisi penduduk Bima, menjadi objek sekaligus subjek pelaku pembangunan kedepan. Orientasi pembangunan diwilayah pesisir semestinya tidak hanya menjadi pemanis rencana pembangunan daerah. Melainkan harus menjadi fokus utama arah strategi pembangunan kedepan. Dengan demikian, sesungguhnya kita telah bersentuhan nyata dengan mayoritas masyarakat Bima itu sendiri.
Permasalahan Pembangunan Pesisir Bima.
Menelaah permasalahan masyarakat pesisir dari berbagai aspek selalu saja catatan pentingnya adalah angka kemiskinan yang kerapkali mengemuka. Berbagai regulasi untuk menyikapi persoalan ini sering selalu berbias dan tampa hasil memuaskan. Telaah kritis yang kemudian tertuang dalam program pembangunan selalu kandas ketika realisasinya dilapangan. Ambil contoh misalnya, subsidi alat tangkap dan perahu nelayan yang tidak menyentuh substansi. Apalagi dengan kualitas alat tangkap dan perahu yang memiriskan. Sekali pakai langsung rusak. Bukan hasil tangkapan yang berlimpah tetapi biaya operasional dan perbaikan menjadi meningkat. Alhasil, program itu sulit mencapai pemberdayaan nelayan yang dimaksudkan.
Terlepas dari itu, mencermati kultur masyarakat pesisir yang unik sebagai titik serapan untuk memandu arah kebijakan pembagunan pesisir mutlak direposisikan ulang sehingga kebijakan inovatif dapat diharapkan menjadi pola baru yang lebih bermanfaat. Sebenarnya, jika kita kaji lebih mendalam lagi keterkaitan kultur dengan taraf kehidupan komunitas pesisir ini sangat erat berkenaan dengan perilaku keseharian yang tidak terpola. Pendapatan para nelayan, jika diukur dengan nominal sebenarnya jauh dari cukup untuk hidup pada taraf yang baik. Dengan pendapatan yang cukup tersebut masyarakat pesisir memiliki kemampuan untuk hidup lebih dari sejahtera. Tetapi, pendapatan yang diperoleh dalam waktu yang relatif singkat dan jumlah yang banyak mendorong perilaku konsumtif yang jauh lebih tinggi. Sehingga modal untuk melanjutkan usaha kadang terkuras untuk memenuhi sifat konsumerisme yang parah tersebut. Belum muncul kebiasaan baik seperti halnya menabung untuk menyisihkan sebagian pendapatan sebagai modal untuk pemenuhan kebutuhan lain yang juga bersifat meningkatkan derajat kesejahteraannya. Kebutuhan pendidikan keluarga adalah salah satu indikator untuk menilai taraf hidup sebuah komunitas. Kebutuhan ini memerlukan cukup modal agar dapat dicapai. Selain semangat untuk melanjutkan pendidikan yang masih rendah dikalangan masyarakat pesisir juga disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada. Faktor ini mengakibatkan kaum pesisir ini tertinggal untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya. Belum lagi kita coba cermati praktek ijon dan renten yang kian marak dikalangan ini. Pada kasus ini, masyarakat pesisir hanya menjadi objek pemerasan yang produktif untuk mendulang keuntungan.
Keterpurukan di aspek ekonomi mengantarkan masyarakat pesisir kita pada berbagai rantai ketidakberdayaan yang semakin panjang. Keterbelakangan pendidikan akan menghasilkan sumberdaya manusia yang seadanya. Ketrampilan dan penguasaan teknologi masih menjadi harapan yang hampa. Dengan praktek penangkapan ikan yang ketinggalan teknologi hanya akan menghasilkan produksi yang minimal dan tentu saja tidak efisien secara ekonomi.
Dengan keadaan yang demikian, upaya-upaya yang tidak ramah akan muncul untuk menjawab kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Cara penangkapan ikan dengan jalur ilegal kerap dilakukan untuk mendapat jumlah tangkapan yang memadai dan singkat. Pengeboman ikan dan penggunaan baha-bahan kimia (potasium sianida) adalah pilihan darurat yang kerap menjadi catatan informasi negatif dari aktifitas masyarakat pesisir. Padahal, daya rusak aktifitas tersebut tak terbantahkan dan justru akan merusak potensi perikanan yang menjadi lahan garapannya dalam jangka yang jauh lebih lama. Kenyataannya, untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang sama dibutuhkan usaha yang lebih besar lagi disebabkan produktifitas ikan yang menurun. Jumlah ikan menurun, daerah tangkapan (fishing ground) lebih jauh, biaya operasional meningkat, dan akibat tidak langsung lainnya yang sangat merugikan.
Pemberdayaan masyarakat pesisir yang meliputi aspek kultural menjadi catatan penting pembangunan daerah Bima kedepannya. Dengan menyentuh sisi kultural ini diharapkan pemberdayaan masyarakat justru lahir dari kesadaran yang cukup dikalangan internal komunitas itu. Berangkat dari sini, sangat dapat diharapkan perubahan yang berarti dalam rangka memacu perkembangan dan kemajuan pembangunan akan tercapai. Memang, upaya merubah kebiasaan kolektif masyarakat memiliki tantangan berat dan membutuhkan keseriusan. Tetapi upaya inilah yang dibutuhkan untuk memoles masyarakat pesisir menuju perubahan yang lebih baik.
Program Pemberdayaan Pesisir.
Sebagai urun rembug, dalam memberi solusi permasalahan masyarakat pesisir dalam rangka pembangunan pesisir yang lebih baik kedepan perlu adanya upaya menyentuh sisi dasar yaitu aspek kultural masyarakat yang tidak kondusif dalam menggerakkan percepatan pembangunan pesisir Bima secara menyeluruh. Bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat yang egaliter tidak bisa dipungkiri, tetapi kenapa masyarakat diwilayah ini masih berkutat dengan persoalan yang melilit yaitu ketidakberdayaan dan kemiskinan struktural. Beberapa hal yang perlu dicermati lagi, yaitu : 1). Pola hidup konsumerisme yang mengemuka lebih kuat atas pendapatan yang diperoleh. Kehadiran lembaga keuangan yang ada masih didominasi oleh lembaga keuangan yang berperan dalam bidang perkreditan/permodalan. Disisi lain belum ada program perbankan yang ada secara sungguh untuk menghimpun dana dari masyarakat dengan reward (balas jasa) yang memadai. Buktinya, semua program gerakan menabung hanya menyediakan jasa yang sangat timpang dibandingkan dengan jasa kreditnya. Bunga pinjaman jauh diatas bunga simpanan. Padahal, dana hasil dari simpanan masyarakat juga bisa digunakan untuk dipinjamkan dengan jasa yang lebih tinggi. Disini ada ketidakadilan yang nyata sehingga memicu masyarakat untuk tidak memiliki minat menabung secara sadar. Masyarakat pesisir semestinya memiliki lembaga yang juga konsen dengan gerakan menabung. Sehingga budaya menabung muncul dan menekan sifat konsumerisme yang semakin parah. 2). Pendidikan dan pelatihan adalah cara efektif untuk merubah cara pandang dan pola pikir masyarakat terhadap persoalan yang muncul disekitarnya. Teknologi inovasi bisa diserap oleh masyarakat untuk memperbaiki metode tradisional yang tidak efektif dan efisien yang dianut selama ini. Pengenalan metode-metode inovatif menjadi jawaban tepat untuk menyiasati perkembangan teknologi yang pesat. Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing masyarakat terhadap pasar. Teknologi penangkapan yang tepat guna secepatnya dikenalkan. Teknologi untuk meningkatkan nilai tambah (added value) terhadap produksi ikan mesti dilakukan. Ikan dijual setelah mendapat sentuhan penanganan dan pengolahan sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Keuntungan nelayan menjadi lebih baik. 3). Memperkenalkan mata pencaharian alternatif (alternative livehood) juga menjadi kebutuhan utama masyarakat pesisir. Dengan lahan hidup yang sangat tergantung pada alam, ada saat yang tidak produktif (musim paceklik) bagi para nelayan untuk tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan mata pencaharian alternatif itu masyarakat nelayan dapat mengatur napas atas desakan kebutuhannya. Budidaya laut (ikan, rumput laut, teripang, mutiara, dll) menjadi alternatif tepat bagi nelayan yang sudah akrab dengan suasana laut itu sendiri. 4). Sudah saatnya memaksimalkan peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada untuk mendukung keuntungan maksimal berada dipihak nelayan. Harga ditentukan oleh pasar bukan oleh para pemberi modal (pemberi pinjaman). Peran pemerintah sebagai regulator kebijakan disini sangat berperan. Dengan ini pula dapat menekan praktek sistem ijon dan rentenir yang mencekik leher masyarakat pesisir. Praktek Ijon dan rentenir akhir-akhir ini kian marak dan terang-terangan, khususnya dikalangan masyarakat pesisir. Selain itu, Pemerintah daerah mendapat konstribusi PAD yang jelas dan kontinyu dari restribusi resmi dari aktifitas pelelangan ikan tersebut. 5). Penataan daerah pesisir perlu dilakukan sehingga image bahwa pesisir yang kumuh, kotor dan sumber penyakit bisa dibantah. Derajat kesehatan merupakan salah satu indikasi tingkat taraf hidup yang meningkat. 6). Reboisasi hutan bakau (mangrove) sebaiknya menjadi agenda penting dalam menciptakan pemulihan kualitas lingkungan perairan didaerah. Hutan bakau memegang peran signifikan dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat pesisir khususnya dimana kualitas air laut bisa dipertahankan, abrasi pantai bisa dicegah, kualitas udara lebih nyaman, intrusi air laut ke wilayah daratan dapat diminimalisir sehingga kualitas air tanah tidak mengalami perubahan komposisi yang membahayakan, juga hutan bakau berperan penting dalam ketersediaan populasi ikan karena berfungsi sebagai lahan asuhan (nusery ground), berlindung dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota perairan ekonomis penting. Luasan hutan bakau pesisir Bima sangat memilukan. Terus mengalami penurun dan yang tersisapun masih belum bebas dari tangan jahil. Wilayah pesisir pantai Bima juga telah mengalami degradasi jumlah terumbu karang yang membutuhkan rehabilitasi secara serius.
Banyak sekali agenda pembangunan yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mengubah aspek kultural masyarakat pesisir Bima untuk menjadi acuan dan arah kebijakan pembangunan pesisir kedepan. Semua hanya berangkat dari niat baik untuk menghantarkan masyarakat kita meraih kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Semoga.
Malang, 16 January ‘09
elfahri.bima opinion.
Oleh : Muhammad Fahri*)
Mahasiswa Pasca Sarjana Unibraw Malang
dan Staf Pengajar SMKN 1 Bima.
Daerah Bima (Kabupaten dan Kota) terletak pada gugusan kepulauan sunda kecil yang sekarang kita sebut dengan Nusa Tenggara Barat. Merupakan bagian timur dari Pulau Sumbawa. Posisinya sangat penting dalam perspektif Nusantara. Tak heran jika Bima dalam sejarahnya menjadi bagian daerah pelabuhan penting dalam merangkai keutuhan wilayah Nusantara. Bangsa penjajah sebangsa kolonial Belanda menjadikan Bima sebagai daerah transit menuju belahan timur Indonesia baik itu dalam kepentingan penjajahannya maupun dalam regulasi perdagangannya. Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar. Berangkat dari sini, pembangunan Bima sejak dulu telah dirintis dari sektor wilayah laut sebagai titik awal perkembangannya.
Memasuki era modern, perkembangan masyarakat Bima juga masih menitik beratkan wilayah laut termasuk didalamnya komunitas masyarakat pesisir yang mendiaminya. Mayoritas penduduk Bima adalah masyarakat yang egaliterian. Masyarakat yang selalu lebih cepat menerima perubahan yang terjadi pada lingkungan luarnya. Hal ini menjadikan keragaman etnik dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sehingga dinamika kehidupan masyarakatnya selalu berwarna lebih dinamis. Sudah dimaklumi bahwa perkembangan suatu wilayah selalu dimulai dari daerah pesisirnya. Banyak contoh daerah-daerah maju memulai perkembangannya dari wilayah tersebut. Semua itu merupakan ciri yang khas dari masyarakat yang lebih banyak bersentuhan dengan kehidupan pesisir dan laut. Layaknya laut yang juga dinamis dengan debur ombak dan pasang surutnya.
Masyarakat pesisir sebagai bagian terbesar dari komposisi penduduk Bima, menjadi objek sekaligus subjek pelaku pembangunan kedepan. Orientasi pembangunan diwilayah pesisir semestinya tidak hanya menjadi pemanis rencana pembangunan daerah. Melainkan harus menjadi fokus utama arah strategi pembangunan kedepan. Dengan demikian, sesungguhnya kita telah bersentuhan nyata dengan mayoritas masyarakat Bima itu sendiri.
Permasalahan Pembangunan Pesisir Bima.
Menelaah permasalahan masyarakat pesisir dari berbagai aspek selalu saja catatan pentingnya adalah angka kemiskinan yang kerapkali mengemuka. Berbagai regulasi untuk menyikapi persoalan ini sering selalu berbias dan tampa hasil memuaskan. Telaah kritis yang kemudian tertuang dalam program pembangunan selalu kandas ketika realisasinya dilapangan. Ambil contoh misalnya, subsidi alat tangkap dan perahu nelayan yang tidak menyentuh substansi. Apalagi dengan kualitas alat tangkap dan perahu yang memiriskan. Sekali pakai langsung rusak. Bukan hasil tangkapan yang berlimpah tetapi biaya operasional dan perbaikan menjadi meningkat. Alhasil, program itu sulit mencapai pemberdayaan nelayan yang dimaksudkan.
Terlepas dari itu, mencermati kultur masyarakat pesisir yang unik sebagai titik serapan untuk memandu arah kebijakan pembagunan pesisir mutlak direposisikan ulang sehingga kebijakan inovatif dapat diharapkan menjadi pola baru yang lebih bermanfaat. Sebenarnya, jika kita kaji lebih mendalam lagi keterkaitan kultur dengan taraf kehidupan komunitas pesisir ini sangat erat berkenaan dengan perilaku keseharian yang tidak terpola. Pendapatan para nelayan, jika diukur dengan nominal sebenarnya jauh dari cukup untuk hidup pada taraf yang baik. Dengan pendapatan yang cukup tersebut masyarakat pesisir memiliki kemampuan untuk hidup lebih dari sejahtera. Tetapi, pendapatan yang diperoleh dalam waktu yang relatif singkat dan jumlah yang banyak mendorong perilaku konsumtif yang jauh lebih tinggi. Sehingga modal untuk melanjutkan usaha kadang terkuras untuk memenuhi sifat konsumerisme yang parah tersebut. Belum muncul kebiasaan baik seperti halnya menabung untuk menyisihkan sebagian pendapatan sebagai modal untuk pemenuhan kebutuhan lain yang juga bersifat meningkatkan derajat kesejahteraannya. Kebutuhan pendidikan keluarga adalah salah satu indikator untuk menilai taraf hidup sebuah komunitas. Kebutuhan ini memerlukan cukup modal agar dapat dicapai. Selain semangat untuk melanjutkan pendidikan yang masih rendah dikalangan masyarakat pesisir juga disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada. Faktor ini mengakibatkan kaum pesisir ini tertinggal untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya. Belum lagi kita coba cermati praktek ijon dan renten yang kian marak dikalangan ini. Pada kasus ini, masyarakat pesisir hanya menjadi objek pemerasan yang produktif untuk mendulang keuntungan.
Keterpurukan di aspek ekonomi mengantarkan masyarakat pesisir kita pada berbagai rantai ketidakberdayaan yang semakin panjang. Keterbelakangan pendidikan akan menghasilkan sumberdaya manusia yang seadanya. Ketrampilan dan penguasaan teknologi masih menjadi harapan yang hampa. Dengan praktek penangkapan ikan yang ketinggalan teknologi hanya akan menghasilkan produksi yang minimal dan tentu saja tidak efisien secara ekonomi.
Dengan keadaan yang demikian, upaya-upaya yang tidak ramah akan muncul untuk menjawab kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Cara penangkapan ikan dengan jalur ilegal kerap dilakukan untuk mendapat jumlah tangkapan yang memadai dan singkat. Pengeboman ikan dan penggunaan baha-bahan kimia (potasium sianida) adalah pilihan darurat yang kerap menjadi catatan informasi negatif dari aktifitas masyarakat pesisir. Padahal, daya rusak aktifitas tersebut tak terbantahkan dan justru akan merusak potensi perikanan yang menjadi lahan garapannya dalam jangka yang jauh lebih lama. Kenyataannya, untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang sama dibutuhkan usaha yang lebih besar lagi disebabkan produktifitas ikan yang menurun. Jumlah ikan menurun, daerah tangkapan (fishing ground) lebih jauh, biaya operasional meningkat, dan akibat tidak langsung lainnya yang sangat merugikan.
Pemberdayaan masyarakat pesisir yang meliputi aspek kultural menjadi catatan penting pembangunan daerah Bima kedepannya. Dengan menyentuh sisi kultural ini diharapkan pemberdayaan masyarakat justru lahir dari kesadaran yang cukup dikalangan internal komunitas itu. Berangkat dari sini, sangat dapat diharapkan perubahan yang berarti dalam rangka memacu perkembangan dan kemajuan pembangunan akan tercapai. Memang, upaya merubah kebiasaan kolektif masyarakat memiliki tantangan berat dan membutuhkan keseriusan. Tetapi upaya inilah yang dibutuhkan untuk memoles masyarakat pesisir menuju perubahan yang lebih baik.
Program Pemberdayaan Pesisir.
Sebagai urun rembug, dalam memberi solusi permasalahan masyarakat pesisir dalam rangka pembangunan pesisir yang lebih baik kedepan perlu adanya upaya menyentuh sisi dasar yaitu aspek kultural masyarakat yang tidak kondusif dalam menggerakkan percepatan pembangunan pesisir Bima secara menyeluruh. Bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat yang egaliter tidak bisa dipungkiri, tetapi kenapa masyarakat diwilayah ini masih berkutat dengan persoalan yang melilit yaitu ketidakberdayaan dan kemiskinan struktural. Beberapa hal yang perlu dicermati lagi, yaitu : 1). Pola hidup konsumerisme yang mengemuka lebih kuat atas pendapatan yang diperoleh. Kehadiran lembaga keuangan yang ada masih didominasi oleh lembaga keuangan yang berperan dalam bidang perkreditan/permodalan. Disisi lain belum ada program perbankan yang ada secara sungguh untuk menghimpun dana dari masyarakat dengan reward (balas jasa) yang memadai. Buktinya, semua program gerakan menabung hanya menyediakan jasa yang sangat timpang dibandingkan dengan jasa kreditnya. Bunga pinjaman jauh diatas bunga simpanan. Padahal, dana hasil dari simpanan masyarakat juga bisa digunakan untuk dipinjamkan dengan jasa yang lebih tinggi. Disini ada ketidakadilan yang nyata sehingga memicu masyarakat untuk tidak memiliki minat menabung secara sadar. Masyarakat pesisir semestinya memiliki lembaga yang juga konsen dengan gerakan menabung. Sehingga budaya menabung muncul dan menekan sifat konsumerisme yang semakin parah. 2). Pendidikan dan pelatihan adalah cara efektif untuk merubah cara pandang dan pola pikir masyarakat terhadap persoalan yang muncul disekitarnya. Teknologi inovasi bisa diserap oleh masyarakat untuk memperbaiki metode tradisional yang tidak efektif dan efisien yang dianut selama ini. Pengenalan metode-metode inovatif menjadi jawaban tepat untuk menyiasati perkembangan teknologi yang pesat. Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing masyarakat terhadap pasar. Teknologi penangkapan yang tepat guna secepatnya dikenalkan. Teknologi untuk meningkatkan nilai tambah (added value) terhadap produksi ikan mesti dilakukan. Ikan dijual setelah mendapat sentuhan penanganan dan pengolahan sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Keuntungan nelayan menjadi lebih baik. 3). Memperkenalkan mata pencaharian alternatif (alternative livehood) juga menjadi kebutuhan utama masyarakat pesisir. Dengan lahan hidup yang sangat tergantung pada alam, ada saat yang tidak produktif (musim paceklik) bagi para nelayan untuk tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan mata pencaharian alternatif itu masyarakat nelayan dapat mengatur napas atas desakan kebutuhannya. Budidaya laut (ikan, rumput laut, teripang, mutiara, dll) menjadi alternatif tepat bagi nelayan yang sudah akrab dengan suasana laut itu sendiri. 4). Sudah saatnya memaksimalkan peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada untuk mendukung keuntungan maksimal berada dipihak nelayan. Harga ditentukan oleh pasar bukan oleh para pemberi modal (pemberi pinjaman). Peran pemerintah sebagai regulator kebijakan disini sangat berperan. Dengan ini pula dapat menekan praktek sistem ijon dan rentenir yang mencekik leher masyarakat pesisir. Praktek Ijon dan rentenir akhir-akhir ini kian marak dan terang-terangan, khususnya dikalangan masyarakat pesisir. Selain itu, Pemerintah daerah mendapat konstribusi PAD yang jelas dan kontinyu dari restribusi resmi dari aktifitas pelelangan ikan tersebut. 5). Penataan daerah pesisir perlu dilakukan sehingga image bahwa pesisir yang kumuh, kotor dan sumber penyakit bisa dibantah. Derajat kesehatan merupakan salah satu indikasi tingkat taraf hidup yang meningkat. 6). Reboisasi hutan bakau (mangrove) sebaiknya menjadi agenda penting dalam menciptakan pemulihan kualitas lingkungan perairan didaerah. Hutan bakau memegang peran signifikan dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat pesisir khususnya dimana kualitas air laut bisa dipertahankan, abrasi pantai bisa dicegah, kualitas udara lebih nyaman, intrusi air laut ke wilayah daratan dapat diminimalisir sehingga kualitas air tanah tidak mengalami perubahan komposisi yang membahayakan, juga hutan bakau berperan penting dalam ketersediaan populasi ikan karena berfungsi sebagai lahan asuhan (nusery ground), berlindung dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota perairan ekonomis penting. Luasan hutan bakau pesisir Bima sangat memilukan. Terus mengalami penurun dan yang tersisapun masih belum bebas dari tangan jahil. Wilayah pesisir pantai Bima juga telah mengalami degradasi jumlah terumbu karang yang membutuhkan rehabilitasi secara serius.
Banyak sekali agenda pembangunan yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mengubah aspek kultural masyarakat pesisir Bima untuk menjadi acuan dan arah kebijakan pembangunan pesisir kedepan. Semua hanya berangkat dari niat baik untuk menghantarkan masyarakat kita meraih kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Semoga.
Malang, 16 January ‘09
elfahri.bima opinion.
WELCOME TO MY BLOG ::
OK
Jumat, 16 Januari 2009
MEMBANGUN BIMA DARI PESISIR
Label :
pesisir awal pembangunan daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda :