Lord Byron (George Gordon Byron, Inggris abad ke-19 tahun 1816).
And war, which was a moment was no more, did glut himself again. A meal was bought, with blood, and each state sullenly apart gorging himself in gloom. No love was left.”
( perang, yang saat ini sudah berhenti, muncul kembali untuk memuaskan diri. Santapan bergelimang darah yang memuaskan muka yang cemberut berkeping-keping. Tak ada rasa yang tersisa )
“I had a dream which was not all a dream.”
(Saya punya mimpi yang tak sepenuhnya mimpi).
“The bright sun was extinguished, and the stars did wander darkling in the eternal space. Rayless, and pathless, and the icy earth swung blind and blackening in the moonless air. Morn came and went—and came, and brought no day.”
(Matahari yang terang itu padam, dan bintang-bintang menggelap di angkasa yang abadi. Tanpa cahaya, tanpa jalan, dan Bumi yang beku membuta dan menghitam dalam langit tak berbulan. Pagi datang dan pergi—dan datang lagi, tanpa membawa hari).
All Earth was but one thought, and that was death. Immediate and inglorious. And the pang of famine fed upon all entrails, men died, and their bones were tombless as their flesh.”
(Seluruh Bumi cuma punya satu pikiran, dan itu adalah kematian. Tiba-tiba dan begitu hina. Dan kelaparan yang menyapa perut, orang-orang mati, dan tulangnya tak berpusara seperti halnya daging mereka).
Nb :
PUISI INI menceritakan dahsyatnya dampak letusan Gunung Tambora Indonesia dua abad lalu di Eropa.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda :