WELCOME TO MY BLOG ::

Selamat Datang Sahabat. Semoga kita menjadi saudara sejati, ketika KLIK anda mengantar masuk space ini semoga bukan ruang hampa yang menjenuhkan. Sangat tersanjung anda berkenaan membaca sejenak apapun yang tersaji disini. Sejurus lalu, meninggalkan komentar, kritik atau pesan bijak buat penghuni blog. Ekspresi anda dalam bentuk tulisan adalah ungkapan abstrak banyak keinginan yang ingin kita gapai. So, berekspresilah dengan tulus dan semangat. Mari kita pupuk semangat dan cita-cita tinggi.
OK

Selasa, 05 Oktober 2010

UJI TOKSISITAS EKSTRAK POLAR, SEMIPOLAR DAN NONPOLAR DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium

Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi

PENDAHULUAN

Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test)

Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis senyawa antikanker. Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat (Meyer, 1982).

Carballo et al. (2002) meneliti kelayakan penggunaan metode BSLT untuk pengujian aktivitas farmakologi produk bahan alam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara BSLT dan uji sitotoksik (50 % spesies yang aktif dalam BSLT juga aktif dalam uji sitotoksik). Menurut Mc Laughlin & Thompson (1998) dalam Widiastuti, (2004), nilai LC50 untuk sitotoksik umumnya adalah sepersepuluh nilai LC50 yang diperoleh dari BSLT.

Artemia salina Leach merupakan komponen dari invertebrata dari fauna pada ekosistem perairan laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja dan Persoone, 1992).

Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-telur itu sudah menetas menjadi larva Artemia yang dinamakan nauplius (Mujiman, 1995). Tahapan proses penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Untuk mengetahui tahap penetasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tahapan penetasan Artemia salina Leach (Mujiman, 1995).

Pengujian Letalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari cytotoxic (Siqueira, et. al., 1998), antimalaria (Perez, et.al., 1997), insektisida (Oberlies, et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, et.al., 1993) campuran dari ektrak tumbuhan. Hasil dari skrining dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari beberapa tumbuhan obat penting yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk letalitas merujuk pada larva Artemia salina yang diujikan.

Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa dan semakin berpotensi sebagai senyawa antitumor.

METODELOGI PENELITIAN

Rancangan Uji Toksisitas

Uji toksisitas ekstrak senyawa menggunakan hewan uji larva A. salina L umur 48-72 jam setelah penetasan telur untuk mengetahui daya toksisitas ekstrak senyawa dalam menyebabkan kematian pada hewan uji. Uji toksisitas untuk mendapatkan nilai Lethal Concentration 50 (LC50) dari senyawa tersebut. Ekstrak yang bersifat toksik dengan diketahui dari nilai LC50 pada uji toksisitas.. Media kultur penetasan larva A. salina L menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500 ml dengan perlengkapan aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut buatan dengan melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm.

Uji toksisitas menggunakan rancangan eksperimental dengan perlakuan perbedaan konsentrasi ekstrak S. cristaefolium terhadap kematian larva Artemia salina L. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0 μg/ml (kontrol), 6,25 μg/ml, 12,5 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 100 μg/ml dan masing-masing perlakuan dibuat ulangan 5 kali. Penempatan perlakuan dilakukan secara acak. Parameter yang digunakan adalah jumlah Artemia salina L yang mati dari total larva hewan uji. Kemudian dihitung nilai LC50 dengan menggunakan analisa probit (50% kematian larva hewan uji).

Prosedur Uji Toksisitas Ekstrak Metode BSLT

Wadah penetasan A. salina L menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500 ml yang dimodifikasi dengan perlengkapan aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut buatan dengan melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm. Salinitas ini sesuai dengan salinitas habitat hidup alami dari A. salina L. Media penetasan ini ditempatkan dengan pencahayaan yang cukup.

Sebanyak 1 gram kista A. salina L dimasukan dalam media 1500 ml air laut buatan dengan pemberian aerasi yang cukup. Suhu penetasan adalah ± 25-300C dan pH ± 6-7. Telur akan menetas setelah 18-24 jam dan larvanya disebut nauplii. Nauplii siap untuk uji BSLT setelah larva ini berumur 48 jam (Subyakto, 2003).

Botol vial disiapkan untuk pengujian, masing-masing sampel dibuat 5 konsentrasi berbeda yaitu 6,25 μg/mL, 12,5 μg/mL, 25 μg/mL, 50 μg/mL, dan 100 μg/mL dan masing-masing dengan kontrol (0 μg/mL). Ekstrak pekat kloroform, aseton dan metanol ditimbang sebanyak 50 mg dan dilarutkan dengan menggunakan 5 ml pelarutnya masing-masing. Selanjutnya, larutan dipipet masing-masing sebanyak 500 μL, 250 μL, 125 μL, 62,5 μL, dan 31,25 μL, kemudian dimasukkan ke dalam botol vial, pelarutnya diuapkan selama 24 jam. Masing-masing vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai emulsigator, 10 ekor larva udang dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5 mL, sehingga konsentrasi masing-masing menjadi 100, 50, 25, 12,5 dan 6,25 ppm.

Untuk kontrol, ke dalam botol vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida, 10 ekor larva A. salina L dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5 mL. Pengamatan Uji Toksisitas ini untuk mengetahui nilai Lethal Concentration 50 (LC50) dengan menghitung jumlah larva A. salina yang mati setelah perlakuan dengan pemberian ekstrak senyawa dengan konsentrasi berbeda dari S. cristaefolium setelah 24 jam dari perlakuan. Secara singkat prosedur uji BSLT penentuan LC50 ditampilkan dalam Lampiran 2.

Analisis Hasil Uji Toksisitas

Efek toksisitas dianalisis dari pengamatan dengan persen kematian dengan rumus perhitungan sebagai berikut ini :


Dengan mengetahui kematian larva A. salina, kemudian dicari angka probit melalui tabel dan dibuat persamaan garis :

Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50 dengan memasukkan nilai probit (50 % kematian). Apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka % kematian ditentukan dengan rumus Abbot (Meyer et al., 1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Toksisitas Metode BSLT

Hasil pengamatan mortalitas A. salina dalam uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) setelah 24 jam pada ekstrak kasar S. cristaefolium yang larut dalam kloroform, aseton dan metanol disajikan dalam lampiran 3. Dari data hasil pengamatan tersebut diperoleh persentase mortalitas hewan uji dari masing-masing konsentrasi ekstrak yang diujikan. Berdasarkan data tersebut dilakukan perhitungan dan analisa probit dengan program SPSS13 untuk mencari nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yang diujikan.

A. salina L mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja and Persoone, 1992).

Hasil perhitungan analisa probit ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S. cristaefolium disajikan pada Tabel 5.2 sebagai berikut :

Tabel 5.2. Hasil perhitungan uji BSLT ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S. cristaefolium

Persentase mortalitas hewan uji larva A. salina pada ekstrak kloroform berkisar antara 72-82 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 72 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 70 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 80 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 82 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 80 %.

Dari data persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak kloroform tersebut, dapat dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi (dosis) ekstrak yang larut dalam kloroform seperti pada grafik Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak kloroform dari S cristaefolium.

Grafik diatas menujukkan bahwa konsentrasi dosis ekstrak kloroform pada 6,25 ppm dimana mortalitas mencapai 72 persen. Pada konsentrasi dosis 12,5 ppm terjadi penurunan mortalitas menjadi 70 persen tetapi kembali meningkat pada konsentrasi 25 ppm sebesar 80 persen. Sedangkan pada konsentrasi 50 ppm meningkat sebesar 82 persen dan kemudian menurun sebesar 80 persen pada konsentrasi 100 ppm. Penurunan mortalitas dengan semakin meningkatnya konsentrasi ini diduga karena ekstrak kasar masih banyak mengandung senyawa yang bekerja saling kontraproduktif satu sama lainnya. Nilai LC50 ekstrak kloroform dari hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 adalah 1.88 ppm yang berarti mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 1.88 ppm. Nilai LC50 ini termasuk dalam kategori sangat toksik karena nilai LC50-nya dibawah 30 ppm.

Untuk hasil persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak aseton berkisar antara 88-96 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 90 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 88 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 96 %. Hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak aseton disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini.

Gambar 5.2. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi dosis ekstrak aseton dari S cristaefolium.

Berdasarkan nilai LC50 hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 pada ekstrak aseton yaitu sebesar 3,97 ppm menunjukkan bahwa angka mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 3,97 ppm. Berdasarkan nilai LC50 maka ekstrak aseton termasuk dalam kategori sangat toksik karena berada dibawah 30 ppm (Meyer et. al, 1982).

Hasil uji toksisitas ekstrak metanol, menunjukkan persentase mortalitas larva A. salina berkisar antara 80-92 %. Secara berurutan, konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 80 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 84 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 92 %. Grafik hubungan antara persentase kematian dengan konsentrasi dosis ekstrak metanol disajikan pada Gambar 5.3 berikut ini.

Gambar 5.3. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak metanol dari S. cristaefolium.

Hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 diperoleh nilai LC50 dari ekstrak metanol yaitu sebesar 3.02 ppm. Ini berarti bahwa mortalitas hewan uji sebesar 50 persen dicapai pada saat konsentrasi dosis ekstrak metanol sebsar 3.02 ppm. Berdasar pada nilai LC50 ini maka ekstrak metanol dikategorikan sebagai sangat toksik.

Dari hasil analisa data uji toksisitas ini, memperlihatkan bahwa semakin besar nilai konsentrasi dosis ekstrak, maka mortalitas larva A. salina juga semakin besar. Hal ini sejalan dengan Harbone (1994), bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya juga semakin tinggi. Mortalitas pada perlakuan pemberian ekstrak disebabkan oleh pengaruh sifat toksik dari ekstrak yang terlarut dalam media hidup larva tersebut.

Menurut Meyer et. al, (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa.

Lebih jauh, Meyer (1982) dan Anderson (1991) menjelaskan bahwa aktifitas ketoksikan suatu ekstrak dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% larva uji pada konsentrasi kurang dari 1000 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh dari ketiga ekstrak yang diujikan maka dinyatakan bersifat sangat toksik. Ekstrak kloroform mencapai nilai LC50 pada konsentrasi 1,88 ppm, ekstrak aseton pada konsentrasi 3,97 ppm dan ekstrak metanol pada konsentrasi 3,02 ppm.

Ekstrak yang paling toksik dapat dilihat dari kemampuan menyebabkan kematian hewan uji yang lebih besar dengan semakin kecilnya konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa secara berturut-turut ekstrak paling toksik berdasarkan nilai LC50 adalah ekstrak kloroform dengan nilai 1,88 ppm, diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai 3,02 ppm dan ekstrak aseton dengan nilai 3,97 ppm.

Berdasarkan data tersebut, ketiga fraksi ekstrak kasar yang diujikan dari alga coklat S. cristaefolium ini memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak dapat dikategorikan sangat toksik karena memiliki nilai LC50 dibawah 30 ppm.

Senyawa bioaktif selalu selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu, daya bunuh in vivo dari senyawa dari organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktifitas dan juga untuk memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian (Meyer. et al. 1982).

Persentase mortalitas A. salina oleh ekstrak kloroform memperlihatkan nilai LC50 yang lebih toksik (1,88 ppm) disebabkan karena senyawa-senyawa non polar yang terlarut dalam ekstrak kloroform tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk masuk dalam membran sel melalui proses difusi pada daerah ekor (tail) yang bersifat hidropobik pada phospolipid bilayer. Hal ini mengakibatkan sel lebih cepat mengalami kerusakan atau mati dalam proses difusi senyawa-senyawa non polar dari ekstrak kloroform. Disisi lain, senyawa-senyawa polar tidak mudah berdifusi memasuki dinding sel (membran) dimana senyawa polar ini berada pada posisi kepala (head) yang bersifat hidropilik. Hal ini mengakibatkan senyawa polar lebih sulit untuk masuk dalam dinding sel sehingga nilai ketoksikan senyawa polar lebih rendah daya rusaknya terhadap sel.

Proses difusi pada sel terjadi akibat kecenderungan dari substansi yang bergerak dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang rendah. Struktur membran sel yang memiliki dua lapisan lipid (phospolipid bilayer) dimana molekul lipid mempunyai satu bagian kepala bundar yang polar (globular head polar) yang mengandung grup NH3 pada bagian luar dan daerah dua ekor yang mengandung asam lemak non polar yang bersifat hidropobik pada permukaan bagian dalamnya memudahkan molekul-molekul non polar berdifusi sedangkan molekul polar tidak bisa berdifusi langsung.

Pelarut non polar hanya dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar sehingga pelarut polar tidak dapat bercampur dengan pelarut non polar didalam phospolipid bilayer. Pelarut polar tidak dapat memasuki membran sel lipid tampa bantuan dari protein pembawa (carrier). Tidak semua molekul dapat memasuki membran phospolipid termasuk gradient elektrokimia dan ukurannya. Molekul yang lebih kecil dan non polar dapat dengan mudah masuk ke dalam phospolipid bilayer lewat proses difusi karena kesamaan polaritasnya. Sedangkan pelarut molekul polar tidak dapat masuk dalam membran plasma hanya dengan proses difusi, melainkan dengan proses endocytosis, difusi yang difasilitasi dan transport aktif (Prashant, et. al., 2009)

Salah satu organisme yang sangat sesuai dengan hewan uji tersebut adalah Brine Shrimp (udang laut). Brine shrimp test sudah digunakan untuk berbagai sistem bioassay yaitu untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, ananstetik, toksik dinoflagellata senyawa yang berupa morfin, tosksisitas pada dispersant minyak dan kokarsinogenik ester phorbol. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay, metode brine shrimp telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan antobiotik pada ekstrak jamur (Abdi, 2001 dalam Lenny, 2006)

Uji tahap lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak yang aktif dilakukan pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium karena ekstrak metanol merupakan ekstrak yang bersifat polar. Pelarut polar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam terutama senyawa fenol dan flavonoid. (Harbone, 1987)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian uji toksisitas ekstrak metanol alga coklat S. cristaefolium maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak kasar senyawa dari S. cristaefolium diperoleh nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yaitu ekstrak kloroform sebesar 1, 88 ppm yang merupakan ekstrak paling toksik, diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai sebesar 3,20 ppm dan ekstrak aseton sebesar 3,97 ppm.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak senyawa dari S. cristaefolium mempunyai prospek dapat dikembangkan sebagai sumber senyawa bioaktif dalam dunia farmasi, misalnya sebagai antitumor atau antikanker.

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap masing-masing ekstrak (kloroform, aseton dan metanol) dengan menggunakan konsentrasi (dosis) dibawah 6,25 ppm terkait dengan potensi dan prospeknya sebagai sumber senyawa bioaktif bahan alam yang memiliki peran dalam dunia farmasi mengingat sifatnya yang sangat toksik.

Selain itu, disarankan untuk melakukan kajian-kajian terhadap manfaat alga coklat S. cristaefolium sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. S. cristaefolium pada saat ini belum dimanfaatkan dengan optimal meskipun jumlahnya sangat melimpah diperairan laut Indonesia. Pemanfaatan S. cristaefolium dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

PUSTAKA

Fahri, M, 2010. Thesis. Unpublication.

Read More......

KAJIAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium

Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi


PENDAHULUAN

Sargassum cristaefolium.

Alga coklat Sargassum cristaefolium merupakan salah satu marga Sargassum termasuk dalam kelas Phaeophyceae. Ada 150 jenis Marga Sargassum yang dijumpai di daerah perairan tropis, subtropis dan daerah bermusim dingin (Nizamuddin, 1970). Habitat alga Sargassum tumbuh diperairan pada kedalaman 0,5–10 m, ada arus dan ombak.

Pertumbuhan alga ini sebagai makro alga bentik melekat pada substrat dasar perairan. Di daerah tubir tumbuh membentuk rumpun besar, panjang thalli utama mencapai 0,5-3 m dengan untaian cabang thalli terdapat kantong udara (bladder), selalu muncul di permukaan air. (www.rumputlaut.org).

Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 15 jenis alga Sargassum dan yang telah dikenal mencapai 12 jenis. Sedangkan di perairan Indo-Pasifik tercatat 58 jenis. Alga Sargassum tumbuh sepanjang tahun, alga ini bersifat “perenial” atau setiap musim barat maupun timur dapat dijumpai di berbagai perairan (Bosse, 1928).

Sargassum secara ekologis ikut andil dalam pembentukan ekosistem terumbu karang dan merupakan tempat asuhan bagi biota kecil, termasuk untuk perlindungan benih ikan dan benur udang serta sarang melekatnya telur cumi-cumi. Marga Sargassum mengandung bahan alginat dan iodin, bermanfaat sebagai bahan industri makanan, farmasi, kosmetik dan tekstil. (www.rumputlaut.org)

Morfologi dan Penyebaran S. cristaefolium

Sargassum spp. ada sekitar 400 spesies di dunia, sedangkan di Indonesia dikenal ada 12 jenis, yaitu: Sargassum duplicatum, S. hitrix, S. echinocarpum, S. gracilinum, S. obtuspfolium, S. binderi, S. polyceystum, S. microphylum, S. crassifolium, S. aquafolium, S. vulgare, dan S. polyceratium. Hormophysa di Indonesia dijumpai satu jenis yaitu Hormophysa tricuetra dan Turbinaria spp. ada 4 jenis yaitu Turbinaria conoides, T. conoides, T. ornata, T. murrayana dan T. deccurens. Sargassum spp. bersifat kosmopolitan, tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia. Penyebaran Sargassum spp. di alam sangat luas terutama di daerah rataan terumbu karang di semua wilayah perairan pantai (DirJen Perikanan Budidaya DKP RI, 2009).

Sargassum tumbuh dari daerah intertidal, subtidal sampai daerah tubir dengan ombak besar dan arus deras. Karakteristik daerah untuk pertumbuhan yaitu kedalamam 0,5–10 m, suhu perairan 27,25 – 29,30 oC dan salinitas 32–33,5 ‰. Kebutuhan intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga alga merah. Boney (1965) menyatakan pertumbuhan Sargassum membutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 6500–7500 lux. Sargassum tumbuh berumpun dengan untaian cabang-cabang. Panjang thalli utama mencapai 1–3 m dan tiap-tiap percabangan terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut “Bladder,” berfungsi untuk menopang cabang-cabang thalli terapung ke arah permukaan air dalam mendapatkan intensitas cahaya matahari.

Spesifikasi khusus dari Sargassum cristaefolium C. Agardh yaitu mempunyai thalli bulat pada batang utama dan agak gepeng pada percabangan, permukaan halus atau licin. Percabangan dichotomous dengan daun bulat lonjong, pinggir bergerigi, tebal dan duplikasi (double edged). Vesicle melekat pada batang daun, bulat telur atau elip, bentuk bladder bulat lonjong (Tetsuro Ajisaka, 2006). Marfologi dari Sargassum cristaefolium C. Agardh dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Taksonomi S. cristaefolium

Berdasarkan hierarki taksonomi Sargassum cristaefolium C. Agardh 1820 menurut NODC Taxonomic Code, database (version 8.0) (1996) adalah sebagai berikut :
Domain : Eukaryota - Whittaker & Margulis,1978
Kingdom : Chromista - T. Cavalier-Smith, 1981
Subkingdom : Chromobiota - Cavalier-Smith, 1991
Infrakingdom : Heterokonta - (Cavalier-Smith, 1986) Cavalier-Smith, 1995
Phylum : Ochrophyta - (Cavalier-Smith, 1986) T. Cavalier-Smith, 1995
Subphylum : Phaeista - Cavalier-Smith, 1995
Infraphylum : Chrysista - (Cavalier-Smith, 1986) Cavalier-Smith, 1995
Superclass : Phaeistia - Cavalier-Smith, 1995
Class : Phaeophyceae
Order : Fucales - Kylin
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Specific descriptor : cristaefolium - C. Agardh
Scientific name : Sargassum cristaefolium C. Agardh

Sumber : NODC Taxonomic Code, database (version 8.0)
Acquired : 1996

Kandungan S. cristaefolium C. Agardh

Rumput laut merupakan makro alga laut primitif, mendukung fotosintesis kehidupan di laut atau di perairan payau. Alga ini diklasifikasikan berdasarkan kandungan pigmen dalam 4500 spesies dari alga merah (Rhodophyta) dengan pigmen r-phycoerythrin dan c-phycocyanin; selain itu 3000 spsies dari alga coklat (Phaeophyta) memiliki pigmen seperti xanthophylls dan fucoxanthins, dan sejumlah 7000 spesies dari alga hijau (Chlorophyta) dengan chlorophyll a dan b, karoten dan beberapa xanthophills. (Dring, 1982)

Rumput laut mengandung komponen penting yang dibutuhkan dalam proses fisiologis hewan dan manusia. Rumput laut kaya akan karbohidrat, protein, lipid dan mineral dan tidak menyebabkan kerusakan pada paru-paru, ginjal, perut dan usus (Katheresan, 1992). Sehingga dapat digunakan sebagai suatu sumber potensial pangan fungsional.

Secara umum, rumput laut mempunyai kandungan nutrisi cukup lengkap. Secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%) serat kasar (3%) dan abu (22,25%). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, rumput laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A, B, C, D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10 -20 kali lipat dibandingkan dengan tanaman darat (Anonim, 2009). Kandungan nutrien dan potensi zat-zat yang terdapat dalam alga laut, khususnya Sargassum belum banyak diteliti (Mulyo, 2009).

Jenis rumput laut yang banyak digunakan untuk pembuatan obat adalah alga coklat khususnya Sargasum dan Turbinaria. Pengolahan rumput laut jenis tersebut menghasilkan ekstrak berupa senyawa natrium alginat. Senyawa alginat inilah yang dimanfaatkan dalam pembuatan obat antibakteri, antitumor, penurunan darah tinggi dan mengatasi gangguan kelenjar (Parveen dan Viqar, 2002).

Menurut Parveen dan Viqar (2002), komposisi proksimat dari penelitian berdasarkan persentase berat kering beberapa jenis rumput laut mengandung unsur-unsur seperti yang disajikan dalam Tabel. 2.1 berikut ini.

Tabel. 2.1. Komposisi Biokimia dari Beberapa Rumput Laut (Parveen dan Viqar, 2002).

Senyawa Bioaktif dari S. cristaefolium C. Agardh

Sitotoksisitas dari tumbuhan alam menjadi pertimbangan sebagai penyedia dari kandungan agen antitumor. Antitumor potensial menjadi harapan umumnya dari alga laut telah diteliti dan aktifitas penghambatan yang kuat terdapat dalam spesies Undaria pinnatifida, Laminaria dan Sargassum (Ohigashi et. al., 1992; Yamamoto et.al., 1974). Aktifitas antitumor dari fucoidan atau fucan dari alga coklat, spesies Laminaria dan Sargassum thumbergii juga telah dilaporkan dalam hewan uji tikus dengan karsinoma Ehrlich (Chida & Yamamoto, 1987; Ito & Sugiura, 1976; Zhuang, et.al., 1995). Fucan, sebuah polysacharide sulphate (HF) dari alga coklat Ascophyllum nodosum menunjukkan efek antitumor dan antipoliferasi baik secara in-vitro maupun in-vivo terhadap non-small-cell human broncho-pulmonary carcinoma (NSCLC-N6) dan sangat berpotensi sebagai agen antitumor dalam terapi kanker (Riou, et.al., 1996). Efek antitumor dari ekstrak Sargassum kjellmanianum juga telah dilaporkan (Iizima-Mizui et.al, 1985; Yamamoto et.al., 1981) masing-masing pada sulphate fucose mengandung polyscharide (Nagumo et.al, 1988, Yamamoto et.al, 1984). Fraksi dari polyscharide sulphate dari Sargassum fulvellum menunjukkan efek penghambatan tumor terhadap sarcoma-180 yang disuntikkan pada tikus (Yamamoto et.al., 1977).

Mortalitas Artemia pada larutan ekstrak E. alvarezii yang terlarut pada metanol dan kloroform, membuktikan adanya metabolisme sekunder yang bersifat polar dan nonpolar. Senyawa metabolit sekunder dari alga yang bersifat polar adalah flavonoid dan alkaloid, sedangkan senyawa yang bersifat non-polar adalah terpenoid dan steroid (Sastrohamidjojo, 1985).

Alginat adalah garam dari asam alginic, suatu co-polymer linier dari b-1, asam 4-D-mannuronic dan a-1, asam 4-L-guluronic, dengan residu diorganisir dari kelompok asam polyguluronic dan polymannuronic, seperti sequens heteropolymeric dari asam guluronic dan mannuronic. Alginat dilaporkan dapat merangsang produksi cytokines, tumour necrosis factor-a, interleukin-1 dan interleukin-6 dari monocytes manusia (Otterlei et al., 1991; Espevik et al., 1993), dan tidak bisa dipisahkan dari aktivitas perlawanan antitumor terhadap model tumour murine secara in-vivo (Fujihara et al., 1984; Fujihara & Nagumo, 1992). Suntikan intraperitoneal tunggal dari derivat alginat seperti alginate-DNM (daunomycin) pada tikus B16 menekan tumours subcutaneous yang dihasilkan kecil, tetapi secara signifikan menghalangi pertumbuhan tumor (Al-Shamkhani & Duncan, 1995).

Depolymerisasi secara biologi dari alginat adalah mengkatalisasi dengan alginate lyases (EC 4.2.2.3) melalui reaksi β-elimination, membelah rantai molekular dan menciptakan asam uronic yang tak terbungkus pada akhir tanpa pengurangan yang baru (Haugen et al., 1990). Produk akhir adalah campuran dari oligosaccharides pendek, yang menjadi bioaktif dan mempunyai aktivitas antitumour dan antivirus (Boyd & Turvey, 1978; Currie, 1983).

Sintesa total dari empat stereoisomer dari amiroxene, dimana hormone pelepasan spermatozoid dan feromon menarik dari Laminaria spp, menunjukkan (1S,2R,3S)-lamiroxene adalah isomer paling aktif. Sintesa total dari (3R,4S)-dictyopterene A, yang merupakan suatu feromon seks dari Dictyopteris Hawaiian sp, menggunakan optis aktif tributylstannylcyclopropane sebagai kunci penghubung ( 2S,3S,5R)-5-[(1R)-1-Hydroxydec-9-enyl]-2-pentyltetrahydrofuran-3-ol151 dan (2S,3S,5S)-5-[(1S)-1-hydroxydec-9-enyl]-2-pentyltetrahydrofuran-3-ol152, keduanya diisolasi dari Notheia anomala. (John Faulkner, 2001).

Alga coklat jenis Stypopodium schimperi dari laut Aegean mengandung meroterpenoid schimperiol baru. Seskuiterpena hydroquinones zonarol dan isozonarol dan quinones yang sesuai dengan zonarone dan isozonarone, merupakan hasil metabolit dari Dictyopteris zonaroides, disintesa secara umum dari β-ionone. Struktur dari sporochnol A, penghambat pakan ikan dari alga Caribbean Sporochnus bolleanus, diperoleh dengan sintesa total dari racemate. Dua diastereoisomers dan dari suatu struktur berdasarkan arsenomethionine yang diisolasi dari Sargassum lacerifolium (John Faulkner, 2001)

PUSTAKA

Fahri, M. 2010. Thesis. Unpublication.

Read More......

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID SERTA UJI TOKSISITAS EKSTRAK METANOL DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium
Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi


Kerangka Konsep Teoritis

Penelitian pendahuluan sangat diperlukan dalam upaya mencari informasi kandungan fitokimia dan potensi senyawa yang dapat menjadi alternatif pemanfaatannya dimasa depan dari bahan alam khususnya dari tumbuhan laut.

Untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif flavonoid dari alga coklat S. cristaefolium, belum banyak dilakukan. Sehingga perlu dilakukan pengujian fitokimia yang lebih mendalam untuk mengetahui kandungan senyawa flavonoid pada S. cristaefolium dengan metode isolasi dan identifikasi senyawa, serta pengujian daya toksisitas ekstrak senyawa pada A. salina.

Alur kerangka pikir dalam penelitian ini adalah ekstraksi senyawa dengan metode maserasi bertingkat menggunakan pelarut organik dengan tingkat kepolaran berbeda yaitu non polar, semi polar dan polar. Hasil berupa ekstrak kasar masing-masing pelarut tersebut dilakukan uji pre-skrining pada hewan uji dengan uji toksisitas metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) untuk mengetahui kemampuan ekstrak senyawa untuk menyebabkan kematian pada hewan uji A. salina L sehingga diketahui nilai LC50 senyawa tersebut. Nilai LC50 adalah kemampuan senyawa dapat menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50 % pada konsentrasi kurang dari 1000 ppm.

Ekstrak senyawa yang bersifat toksik dengan konsentrasi kurang dari 1000 ppm dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi untuk mengetahui jenis kandungan senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Isolasi dan indentifikasi senyawa flavonoid menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), High Pressure Liquid Chromatography (HPLC), Spektroskois Ultraviolet-Cahaya Tampak (UV-vis), Spektroskopis Infrared (FT-IR).


Read More......

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium

Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi

PENDAHULUAN

Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder

Prinsip dari pemisahan (isolasi) adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penserapan) (Harborne, 1987).

Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketuk-ketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali elusi untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 gram ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini, diameter corong dipilih sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (Soediro, dkk.,1986).

Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987).

Uji Fitokimia Senyawa

Secara umum kandungan metabolit sekunder dalam bahan alam dikelompokkan berdasarkan sifat dan reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Menurut Harbone (1973), kandungan metabolit sekunder tanaman secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Alkaloida, golongan senyawa yang mengandung nitrogen dalam bentuk gugus amina, baik primer, sekunder, tersier maupun kuartener.
b. Terpenoida/Streoida, golongan senyawa turunan asam mevalanat dengan satuan-satuan isoprena.
c. Flavonoid, golongan senyawa fenil propanoid dengan kerangka karbon C6-C3-C6.
d. Fenolik, golongan senyawa aromatik dengan substituen gugus hidroksil.
e. Saponin, golongan senyawa dalam bentuk glikosida terpenoid/streoid.
f. Kumarin, golongan senyawa fenil propanoid dengan kerangka sinamat dasar C6-C3.
g. Kuinon.

Kromatografi

Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Kecepatan senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan, tergantung pada kelarutan senyawa dalam pelarut. Hal ini bergantung pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut (Harborne, 1987).

Kemampuan senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung pada besar atraksi antara senyawa dengan gel silika. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada gel silika lebih kuat dibanding senyawa lainnya karena senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya. Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan (Harborne, 1987).

Penjerapan bersifat tidak permanen, terdapat pergerakan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan gel silika dan yang kembali pada larutan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. Ketika senyawa dijerap pada gel silika -untuk sementara waktu proses penjerapan berhenti- dimana pelarut bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke atas lempengan (Harborne, 1987). Dalam hal ini, senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan menjerap lebih kuat daripada yang tergantung hanya pada interaksi van der Waals, dan karenanya bergerak lebih jauh pada lempengan.

Jika komponen-komponen dalam campuran dapat membentuk ikatan-ikatan hydrogen, terdapat perbedaan bahwa ikatan hidrogen pada tingkatan yang sama dan dapat larut dalam pelarut pada tingkatan yang sama pula. Ini tidak hanya merupakan atraksi antara senyawa dengan gel silika. Atraksi antara senyawa dan pelarut juga merupakan hal yang penting dimana hal ini akan mempengaruhi mudahnya proses senyawa ditarik pada larutan keluar dari permukaan silika. Ini memungkinkan senyawa-senyawa tidak terpisahkan dengan baik ketika membuat kromatogram. Dalam kasus itu, perubahan pelarut dapat membantu dengan baik, termasuk memungkinkan perubahan pH pelarut. Ini merupakan tingkatan uji coba, jika satu pelarut atau campuran pelarut tidak berkerja dengan baik, maka dapat mencoba dengan pelarut lainnya (Harborne, 1987).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya. Seluruh bentuk kromatografi berkerja berdasarkan prinsip ini. Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Harborne, 1987).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Roy, et. all, 1991).

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini menurut Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul Rohman (2007) adalah :
• Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
• Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorisensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
• Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
• Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai (Harborne, 1987).

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis, kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik dalam waktu singkat menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam sulfat pekat yang bersifat korosif, kelemahannya adalah harga RF yang tidak tetap (Gritten, et. al., 1991).

High Pressure Liquid Chromatography (HPLC)

High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode lainnya (Done dkk, 1974; Snyder dan Kirkland, 1979; Hamilton dan Sewell, 1982; Johnson dan Stevenson, 1978).

Informasi seperti kelarutan, gugus fungsi yang ada, besarnya berat molekul (BM) dapat diperoleh dari pembuat informasi, pemberi sampel, atau data spektroskopik seperti Nucleic Magnetic Resonance Spectrosphotometer (NMR), Infrared spectrophotometer, ultra violet spectrumeter, dan mass Spectrophotometer. Semua data-data ini dapat digunakan sebagai petunjuk bagi analis memilih tipe HPLC yang tepat untuk digunakan (Johnson dan Stevenson, 1978)

Berdasarkan Hukum Dasar "like dissolves like" maka sangat mudah untuk memutuskan tipe KCKT yang akan dipilih. Seleksi tipe KCKT, dengan cepat kita dapat melihat bahwa Berat Molekul (BM) lebih besar dari 2000, maka kita dapat menggunakan kromatografi eksklusi. Fasa geraknya adalah air jika sampelnya larut dalam air; bila dapat larut dalam pelarut organik maka digunakan pelarut- pelarut organik sebagai rasa gerak. Fasa diamnya adalah Sephadex atau Bondagel Seri E untuk rasa gerak air dan Styragel atau MicroPak TSK gel untuk rasa gerak organik. Bila BM lebih rendah dari 2000, pertama yang harus ditentukan adalah apakah sampel dapat larut dalam air. Bila sampel dapat larut dalam air, maka kromatografi partisi rasa terbalik atau kromatografi penukar ion dapat digunakan. Bila kelarutan dipengaruhi oleh penambahan asam atau basa atau bila pH larutan bervariasi lebih dari 2 (dua) satuan pH dari pH 7, maka kromatografi penukar ion adalah pilihan utama. Bila kelambatan tidak dipengaruhi oleh asam dan basa dan larutan sampel adalah netral, maka kromatografi partisi rasa terbalik adalah pilihan terbaik. Tipe Eksklusi menggunakan ukuran poros yang kecil dan rasa air dapat juga dicoba.

METODELOGI PENELITIAN

Uji Fitokimia Metabolit Sekunder

a. Pemeriksaan Falvonoid, Fenolik dan Saponin.
- Flavonoid, dalam ekstrak air (aqueous extract) ditetesi dengan larutan amoniak encer dan ditetesi asam sulfat pekat. Terbentuknya warna kuning mengindikasikan adanya flavonoid. Cara lain dengan menambahkan HCl pekat dan beberapa butir serbuk magnesium ke dalam ekstrak air. Pewarnaan oranye sampai merah mengindikasikan adanya flavonoid.
- Fenolik, ekstrak dalam tabung reaksi ditetesi larutan FeCl3. Pewarnaan biru atau biru keunguan menunjukkan positif fenolik.
- Saponin, ekstrak dalam tabung reaksi dikocok kuat, pembentukan busa permanen (sekitar 15 menit) dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes HCl pekat menunjukkan positif adanya saponin.

b. Pemeriksaan Alkaloid (Maldoni, 1991)
Penambahan larutan kloroform-amoniak 0,05 N pada ekstrak kloroform dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan H2SO4 2 N (10-20 tetes). Pemberian pereaksi Meyer (1-2 tetes) dan pereaksi Dragendorff (1-2- tetes). Uji positif alkaloid ditandai dengan adanya endapan putih yang relatif banyak (+4), kabut putih tebal (+3), kabut tipis (+2) dan kabut putih tipis (+1) untuk uji pereaksi Meyer dan pereaksi Dragendorff menunjukkan adanya endapan jingga sampai merah coklat.

c. Pemeriksaan Terpenoid/Streoid (Libermann-Burchard : AC2O/H2SO4)
Pemberian anhidrida asam asetat (AC2O) sebanyak 1-2 tetes dalam ekstrak kloroform dan sebagai pembanding menggunakan H2SO4 pekat (1-2 tetes). Perubahan warna menjadi merah atau merah keunguan mengindikasikan terpenoid dan hijau atau hijau kebiruan untuk streoid.

Uji terpenoid (Salkowski Test) dengan pemberian H2SO4 pekat pada ekstrak kloroform sehingga terbentuk 2 lapisan fasa cair. Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antar muka lapisan menunjukkan adanya terpenoid.

d. Pemeriksaan Kuinon
Kandungan kuinon dalam sampel tumbuhan biasanya ditandai dengan pewarnaan kuning, oranye atau merah. Pemeriksaan kuinon dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi sampel dengan eter. Jika warna sampel terekstraksi dalam eter maka boleh jadi zat warna yang muncul adalah kuinon. Selanjutnya jika ekstrak eter ini diekstraksi kembali dengan larutan NaOH 5% ternyata warnanya hilang dan jika ditambahkan dengan asam flourida sampai bereaksi asam ternyata warna semula kembali timbul, maka zat warna dimaksud termasuk kelompok kuinon.

d. Pemeriksaan Kumarin
Kumarin sederhana biasanya memberikan bau yang enak. Namun dalam banyak hal, karena struktur kerangka kumarin yang berbentuk lakton cincin 6, maka tidak ada reaksi warna atau pengendapan yang spesifik untuk kelompok senyawa ini. Meski demikian keberadaan kumarin dalam sampel dapat dideteksi dengan melakukan KLT ekstrak etanol/metanol, kemudian dielusi dengan pelarut yang sesuai, misalnya, etil asetat-metanol dengan perbandingan 9:1 atau 8:2. Pemeriksaan dibawah lampu UV 360 nm, flourisensi biru menandakan keberadaan kumarin. Jika bercak berflourisensi ini dikenai uap amoniak maka akan terlihat bercak warna kuning.

Isolasi Senyawa Bioaktif Flavonoid

KLT Kualitatif

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan plat silika gel F254 dengan ukuran 2 X 10 cm. Ekstrak pekat Sargassum cristaefolium ditotolkan pada plat silika dengan jarak 1 cm dari bagian bawah dengan pipa kapiler. Selanjutnya, dikeringkan dan dielusi dalam larutan eluen yang dipersiapkan sesuai dengan tujuan senyawa apa yang akan diisolasi. Larutan eluen ditempatkan pada bejana kaca dengan bagian tutup yang lebar. Selama perendaman bejana ditutup agar media jenuh dengan larutan eluen.

Ekstrak akan ditarik ke atas oleh eluen sampai jarak 1 cm dari bagian atas plat. Plat selanjutnya dikeringkan. Pengamatan warna yang muncul dibawah penyinaran sinar ultra violet dengan panjang gelombang 256-366 nm. Plat disemprot dengan dengan pelarut dari campuran vanili 0,25 ml dan etanol 25 ml kemudian disemprotkan dengan H2SO4 bertujuan untuk memperkuat penampakan warna yang muncul pada plat. Untuk mengetahui nilai RF dengan mengukur jarak antara titik awal dengan pusat bercak yang dihasilkan senyawa dan jarak ini kemudian dibagi dengan jarak antara titik awal dan garis depan (jarak yang ditempuh oleh cairan pengembang). Eluen yang memberikan hasil terbaik akan digunakan dalam pemisahan dengan KLT preparatif.

KLT Preparatif

Pemisahan dengan KLT preparatif menggunakan plat silika gel F254 dengan ukuran 10 X 20 cm. Ekstrak pekat hasil ekstraksi ditotolkan sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah dan 1 cm dari garis tepi. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen yang memberikan hasil pemisahan terbaik pada KLT kualitatif. Noda yang diperoleh dikerok dan dilarutkan dengan metanol. Kemudian disentrifuge untuk mengendapkan silikanya. Supernatan yang diperoleh dipekatkan sehingga diperoleh isolat berdasarkan harga RF-nya.

Analisa HPLC

Uji HPLC kualitatif dilakukan untuk mengetahui komposisi kandungan senyawa yang terkandung dalam ekstrak Sargassum cristaefolium. Untuk memastikan kemurnian dari isolat maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode HPLC analitik dengan komposisi gradien (eluen) metanol-air ada kolom fase terbalik (reversed phase) C-18 (RP-18) dan detektor Photo Dioda Array untuk merunut keberadaan senyawa utama. Kemudian dilakukan isolasi senyawa utama dengan HPLC preparatif, Pada penggunaan HPLC preparatif, dibuat gradien seoptimal dan sesingkat mungkin dengan cara mengubah atau mengganti konsentrasi eluen. Selanjutnya, setelah didapatkan senyawa utama, dilakukan penentuan struktur dengan metode spektroskopis.

Identifikasi Senyawa Bioaktif Flavonoid

Spektrofotometri UV-vis

Isolat hasil KLT dimasukkan ke dalam kuvet dan diamati spektrumnya pada panjang gelombang 200-600 nm. Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M. AICl3 5 %, NaOAc, H3BO3, kemudian diamati pergeseran puncak serapannya.
Tahapan prosedur penggunaan pereaksi geser sebagai berikut :
1. Isolat yang diduga sebagai senyawa utama diamati pada panjang gelombang 200-600 nm, direkam dan dicatat hasilnya.
2. Isolat dari tahap 1 ditambahkan 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok sehingga homogen dan diamati hasilnya.
3. Isolat tahap 1 ditambahkan 6 tetes pereaksi AICl3 5 % dalam metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati hasilnya.
4. Isolat tahap 1 ditambahkan serbuk NaOAc kira-kira 250 mg, campuran dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya, selanjutnya ditambahkan serbuk H3BO3 kira-kira 150 mg dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya.

Spektrometri Infrared

Isolat hasil KLT preparatif yang menunjukkan adanya senyawa utama berdasarkan identifikasi dengan spetrofotometri UV-vis diuapkan pelarutnya. Isolat pekat diteteskan pada pelet KBr, dikeringkan kemudian dibuat spektrumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Senyawa Flavonoid

Uji Golongan Senyawa

Uji golongan dilakukan terhadap ekstrak metanol sebagai langkah awal untuk mengetahui kandungan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak metanol. Hasil uji golongan mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Uji golongan yang dilakukan pada ekstrak pekat kloroform, aseton, dan metanol dari S. cristaefolium dengan pereaksi bahan kimia, sebagai berikut :

a. Uji H2SO4
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4, terjadi perubahan warna menjadi oranye atau kuning tua. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak metanol terdapat senyawa flavon atau flavonoid.
Ekstrak aseton, diberi metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4, tidak terjadi perubahan warna sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak aseton tidak terdapat senyawa flavon.

b. Uji Meyer
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml diberi pereaksi Mayer, terdapat sedikit endapan putih. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kandungan alkaloid dalam ekstrak metanol.
Ekstrak aseton, diberi metanol sebanyak 2 ml, diberi pereaksi Mayer, tidak terdapat endapan sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat senyawa alkaloid dalam ekstrak aseton.
Ekstrak kloroform, diberi metanol sebanyak 2 ml, diberi pereaksi Mayer, terdapat endapan berwarna putih. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat senyawa alkaloid dalam ekstrak kloroform

c. Uji Dragendorff
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan larutan Dragendorff, terdapat endapan berwarna oranye. Hal ini menunjukkan adanya kandungan alkaloid pada ekstrak metanol.
Ekstrak aseton sebanyak 2 ml, diperlakukan sama seperti pada ekstrak metanol, tidak terdapat endapan apapun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat senyawa alkaloid pada ekstrak aseton.
Ekstrak kloroform sebanyak 2 ml, diperlakukan sama seperti pada ekstrak metanol dan aseton, terdapat endapan berwarna oranye. Hal ini menunjukkan bahwa adanya senyawa alkaloid pada ekstrak kloroform.

d. Uji Salkowski
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan kloroform menunjukkan adanya endapan warna merah dan oranye. Hal ini mengindikasikan adanya senyawa terpenoid atau steroid.
Ekstrak aseton sebanyak 2 ml, ditetesi metanol, H2SO4 dan kloroform tidak ada endapan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak aseton tidak mengandung senyawa terpenoid ataupun steroid.
Ekstrak kloroform, diberi metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan kloroform terjadi endapan berwarna merah dan oranye. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam ekstrak kloroform terdapat senyawa terpenoid atau steroid.

Uji golongan fitokimia senyawa dari ekstrak kasar S. cristaefolium sebagai uji pendahuluan dan panduan dasar keberadaan senyawa bioaktif flavonoid dalam rangka isolasi. Dari berbagai uji fitokimia terhadap ekstrak kasar masing-masing pelarut dapat dilihat bahwa unktuk ekstrak kloroform mengandung senyawa flavonoid, alkaloid dan terpenoid serta streoid. Ekstrak aseton tidak terbentuk endapan dari pereaksi pendeteksi yang dilakukan sehingga tidak mengindikasikan keberadaan senyawa yang dituju. Ekstrak methanol diduga memiliki kandungan flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid berdasarkan reaksi senyawa terhadap pereaksi pendeteksi yang diujikan. Secara ringkas, hasil uji golongan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut :

Tabel 5.3. Hasil Uji Golongan Senyawa Ekstrak Kasar S. cristaefolium

Hasil uji golongan (fitokimia) yang dilakukan, menunjukkan bahwa senyawa kimia berupa senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak S. cristaefolium mengandung senyawa flavonoid. Harbone (1987) menjelaskan bahwa pada uji fitokimia terhadap senyawa golongan flavonoid akan menunjukkan hasil positif dengan terjadinya perubahan warna berupa warna kuning. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan warna yang ditunjukkan pada Gambar 5.4 yaitu warna kuning.

Gambar 5.4. Hasil uji fitokimia flavonoid ekstrak metanol S. cristaefolium.

Kromatografi Lapis Tipis

Berdasarkan hasil uji toksisitas dengan A. salina (uji pre-skrining) diketahui bahwa ekstrak metanol merupakan ekstrak yang mempuyai aktifitas yang sangat aktif (sangat toksik) dengan nilai LC50 sebesar 3,02 ppm. Pada uji golongan ekstrak metanol juga mengandung beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid. Pelarut metanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Pelarut polar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam terutama senyawa fenol dan flavonoid. (Harbone, 1987).

Dengan demikian, uji tahap lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak yang aktif dilakukan pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium. Ekstrak metanol dilanjutkan ke tahap pemisahan dan pemurnian selanjutnya dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif dan preparatif.

Analisa pemisahan senyawa dari ekstrak metanol dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif menggunakan beberapa eluen. Markham (1988), bahwa eluen yang digunakan untuk memisahkan komponen dari bahan alam yang diduga mengandung senyawa flavonoid adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan komposisi (4:1:5), dan metanol : kloroform (7:3). Penggunaan berbagai macam komposisi dan eluen ini dimaksudkan mampu untuk memisahkan senyawa flavonoid yang terkandung dalam S. cristaefolium. Hasil KLT kualitatif berupa pola pemisahan pada kromatogram dari berbagai eluen yang digunakan. Berdasarkan pola kromatogram yang terbentuk pada plat silika gel dapat ditentukan resolusi senyawa flavonoid dan jenis flavonoid yang terdapat dalam ekstrak.

Eluen yang digunakan pada KLT kualitatif ini adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan komposisi (4:1:5), metanol : kloroform (7:3), asam asetat : benzene (2:8), etil asetat : n-heksan (7:5) dan toluen : eter : asam asetat (10:10:2). Hasil KLT kualitatif dengan beberapa eluen tersebut disajikan dalam Table 5.4.

Tabel 5.4. Hasil KLT kualitatif beberapa eluen dari ekstrak metanol S. cristaefolium.

Hasil pemisahan secara KLT kualitatif menunjukkan bahwa eluen yang memberikan hasil terbaik adalah toluen : eter : asam asetat (10:10:2) mampu memberikan resolusi terbaik, terlihat dari terbentuknya noda yang terpisah dan jumlah noda yang paling banyak yaitu 9 noda. Campuran eluen lain yang menghasilkan noda adalah etil asetat : n-heksan (7:5) tetapi tidak mampu memisah dengan baik noda yang masih berhimpitan dan jumlah noda hanya 3 noda. Sedangkan eluen lainnya tidak dapat memisahkan senyawa yang terlihat dari gerak senyawa yang membentuk garis lurus. Dengan demikian, eluen terbaik yang digunakan dalam pemisahan senyawa flavonoid pada analisa Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif adalah eluen campuran toluen : eter : asam asetat (10:10:2).

Hasil pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif hampir sama dengan KLT kualitatif hanya berbeda pada kuantitas ekstrak lebih banyak yang digunakan. Penggunaan plat silika gel dengan ukuran yang besar dan lebih banyak. Noda-noda yang dihasilkan pada KLT preparatif ditandai selanjutnya dikerok dan dilarutkan pada pelarut metanol. Isolat yang diperoleh tersebut kemudian diidentifikasi dengan spektrofotometri UV-visual dan Inframerah (FT-IR).

Gambar 5.5. Kromatogram hasil KLT preparatif ekstrak metanol S. cristaefolium.

Keterangan :
fase gerak : toluen : eter : asam asetat (10:10:2)
fase diam : plat silika gel GF254
sinar UV : 366 nm

HPLC

Data hasil analisa HPLC kualitatif terhadap ekstrak metanol S. cristaefolium menunjukkan bahwa puncak utama senyawa yang terdapat dalam ekstrak metanol berada pada puncak kedua dengan waktu retensi (waktu hambat/tambat) 20.03 menit serta area persentase senyawa sebesar 38.505 %. Puncak ini pada KLT kualitatif mempunyai nilai Rf 0.88 cm dan menunjukkan warna oranye keungunan menyala pada sinar UV 366 nm. Sedangkan puncak yang juga menunjukkan warna oranye menyala pada sinar UV 366 nm hasil KLT kualitatif dengan nilai Rf 0.77 ditunjukkan oleh puncak keempat pada hasil HPLC dengan waktu retensinya 29.92 menit dan area persentase senyawa sebesar 7.757 %.

Hasil analisa HPLC kualitatif terhadap ekstrak metanol S. cristaefolium disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 5.6 sebagai berikut.

Gambar 5.6. Hasil HPLC ekstrak metanol S. cristaefolium.

Identifikasi Senyawa Flavonoid

Identifikasi Pendahuluan

Identifikasi pendahuluan terhadap warna kromatogram pada plat silika gel hasil KLT kualitatif berdasarkan penampakan warna kromatogram yang terbentuk. Penampakan warna diamati dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm baik sebelum maupun sesudah disemprot dengan pelarut berflourenses (larutan vanila 5% dalam etanol dan H2SO4). Warna kromatogram dari masing-masing noda yang terbentuk hasil KLT kualitatif disajikan dalam Tabel 5.5.

Berdasarkan Tabel 5.5 tersebut, penampakan warna kromatogram noda 1 dengan Rf 0,94 cm adalah hijau muda. Pada sinar UV 254 dan 366 nm tampak berwarna coklat muda sebelum disemprot dengan pelarut berflourensens (vanila 5 % dalam etanol). Setelah disemprot tidak tampak pada sinar UV 254 nm dan berwarna coklat pada sinar UV 366 nm. Noda 2 dengan Rf 0,88 cm tampak hijau kebiruan, pada sinar UV 254 nm sebelum disemprot tampak coklat muda dan tampak oranye pada sinar UV 366 nm. Setelah penyemprotan kromatogram tampak biru muda pada sinar UV 254 nm dan oranye terang (menyala) pada sinar UV 366 nm. Noda 3 Rf 0,83 tidak tampak, pada sinar UV 254 nm juga tidak terlihat tetapi tampak warna putih pada sinar UV 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tidak tampak pada UV 254 nm dan terlihat coklat muda pada UV 366 nm.

Tabel 5.5. Harga RF dan warna noda kromatogram hasil KLT kualitatif dengan eluen toluen : eter : asam asetat (10:10:2).

Noda 4 dengan Rf 0,77 cm berwarna hijau kekuningan. Sebelum disemprot tidak tampak pada UV 254 nm dan terlihat coklat oranye pada UV 366 nm. Pada sinar UV 254 nm setelah disemprot tampak biru muda dan oranye keunguan pada sinar Uv 366 nm. Noda 5 Rf 0,72 cm warna hijau biru, sebelum disemprot tampak coklat muda pada UV 254 nm dan ungu muda pada UV 366 nm. Setelah disemprot tidak tampak pada UV 254 dan 366 nm. Noda 6 Rf 0,66 cm berwarna coklat muda, coklat muda pada UV 254 dan coklat pada 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tampak coklat pada Uv 254 nm dan ungu muda pada 366 nm. Warna ungu muda pada noda 7 Rf 0,61 cm, tetapi tidak tampak pada UV 254 nm dan coklat muda pada UV 366 nm sebelum disemprotkan. Warna ungu muda pada 366 nm dan tidak tampak pada UV 254 nm setelah disemprot. Noda 8 Rf 0,55 cm terlihat oranye kekuningan, pada UV 254 nm coklat muda dan coklat gelap pada 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tampak biru pada UV 254 dan 366 nm. Noda terakhir 9 Rf 0,44 cm tampak hijau kekuningan, namun tampak coklat kebiruan pada UV 254 nm dan coklat pada UV 366 nm. Seteah disemprot terlihat coklat kebiruan pada UV 254 nm dan coklat pada UV 366 nm.

Dari 9 noda tersebut, noda ke 2 dan ke 4 memperlihatkan warna oranye terang keunguan (lembayung) pada UV 366 nm setelah disemprot maka dapat diduga pada kedua noda tersebut ada senyawa flavonoid golongan flavon, isoflavon, flavonol, dihidroflavonol atau flavanon (Markham, 1998).

Kedua noda senyawa ini (2 dan 4) dilakukan isolasi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif karena warna oranye menyala pada gelombang UV 366 nm setelah disemprot dengan larutan berflourensens vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4 pekat mengindikasikan keberadaan kandungan senyawa flavonoid. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Markham (1988), vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4 pekat perbandingan 4:1 akan menimbulkan bercak merah atau merah lembayung segera setelah penyemprotan dan pemanasan (dengan pengering rambut) oleh katekin dan proantosiniadin. Bila bercak terbentuk lebih lambat disebabkan oleh flavanon dan dihidroflavonol. Pereaksi bereaksi dengan semua flavonoid yang mempunyai pola oksidasi lingkar-A floroglusinol dan lingkar-C jenuh. Senyawa yang demikian seringkali tidak tampak pada kromatografi bila disinari dengan sinar UV.

Spektrofotometri Ultra Violet Cahaya Tampak (UV-vis)

Identifikasi senyawa flavonoid dengan spektrofotometri UV-visual ini berdasarkan pada serapan cahaya oleh molekul dalam daerah ultraviolet dan tampak tergantung dari transisi elektroniknya. Markham (1988), Spektrofotometri serapan Ultra Violet dan serapan Tampak (UV-vis) barangkali merupakan cara tunggal yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. Analisis dengan spektrofotometri UV-vis berguna dalam mengidentifkasi jenis golongan senyawa flavonoid dan menentukan pola oksigenasinya. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambah pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati puncak serapan yang terjadi.

Flavonoid merupakan satu dari banyak senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan yang biasa ditemukan pada bagian akar, batang, kulit dan daun serta biji tumbuhan. Senyawa flavonoid mengandung cincin aromatik yang tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar tersusun dalam konjungasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik dihubungkan dengan atom karbon). Pita spektrumnya dapat terserap kuat pada panjang gelombang UV disebabkan oleh keberadaan dari cincin aromatik tersebut. Profil pita yang memberikan spektrum UV khas flavonoid dapat diidentifikasi lebih lanjut dengan pereaksi geser. Pereaksi geser ini untuk menentukan kedudukan gula dan gugus hidroksil fenol pada inti flavonoid dengan cara mengamati pergeseran puncak (peak) serapan yang terjadi.

Pereaksi geser yang digunakan adalah NaOH, AlCl3, NaOAc, dan campuran NaOAc dan H3BO3. Identifikasi dan analisa struktur flavonoid dengan spektrum UV dilakukan terhadap isolat noda oranye yaitu noda 2 dan 4.

Menurut Markham (1988) dan Mabry (1970), spektrum khas flavonoid terdiri dari dua pita yaitu pada rentang panjang gelombang 240-295 nm (pita II) dan 300-350 nm (pita I). Lebih lanjut, menurut Markham (1988), sistem hidroksilasi pada flavon ditunjukkan dengan pemunculan puncak yang kadang-kadang berupa bahu pada spektrum pita I.

Spektrum UV-vis isolat ekstrak metanol S. cristaefolium yang disolasi disajikan dalam Gambar 5.7 dan 5.8.

Dari spektrum UV-vis setelah penambahan pereaksi geser NaOH, AlCl3, NaOAc, dan campuran NaOAc dan H3BO3 terhadap isolat memberikan pola pergeseran yang berbeda-beda. Hasil pergeseran spektrum UV dari isolat noda 2 dan 4 dengan adanya pereaksi geser disajikan dalam Lampiran 7 dan Tabel 5.6.

Tabel 5.6. Pergeseran rentang panjang gelombang puncak spektrum UV-vis Isolat 4 dengan adanya pereaksi geser.

Pola hidroksilasi dan derajat penyulihan pada flavon dan flavonol mengakibatkan adanya sistem ’3, ’4-di OH umumnya dapat dibuktikan dengan adanya puncak kedua dalam pita II (kadang-kadang berupa bahu). Berdasarkan Markham (1988) dapat diamati bahwa pola grafik hidroksilasi isolat noda 4 yang diisolasi tersebut mengarah pada flavanon (naringenin) atau dihidroflavonol. Hal ini secara jelas dapat diamati dari adanya pola dua puncak utama dari isolat noda ke 4 ini. Rentang serapan spektrum utama UV-visual flavonoid untuk flavanon dan dihidroflavonol berada ada 275-295 nm pada pita II. Rentang serapan spektrum utama UV-visual flavonoid ini sesuai dengan spektrum yang muncul pada serapan pita II isolat noda 4 yaitu 280 nm.

Melihat perubahan spektrum dengan pereaksi geser pada isolat noda ke 4 dengan Rf 0,77 cm (Tabel 8) dengan didukung oleh pustaka (Markham, 1998; Mabry, 1970) maka dapat dijelaskan bahwa dengan adanya pereaksi geser NaOH terjadi pergeseran pita II sebesar 5 nm ke kanan mengarah pada substitusi posisi 7-OH. Penambahan pereksi geser AICl3 tidak terjadi pergeseran pada pita I (tetap) mengarah pada substitusi posisi 5-OH. Penambahan pereaksi geser NaOAc (asam asetat) menurunkan kekuatan pita II yang mengarah pada substitusi posisi 6,7atau 7,8 atau 3, 4’-di OH (gugus yang peka terhadap basa). Pada pita I dengan pereaksi geser AICl3 ini mengalami pergeseran sebesar 7 nm mengarah ada 7-OH. Sedangkan penambahan NaOAc dan H3BO3 (asam borat) terjadi pergeseran pita I ke kanan sebesar 8 nm yang mengarah pada substitusi o-di OH pada cincin A (6,7). Pergeseran 8 nm ini hanya menambah 1 nm dari pergeseran oleh NaOAc yang berarti tidak signifikan atau tetap (tidak ada pergeseran). Hal ini membuktikan bahwa pada cincin B terjadi proses metilasi atau glikolisasi yang menghambat hidrolisis (ionisasi). Dengan demikian diduga bahwa isolat yang diisolasi adalah senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol yakni 5,6,7-dihidroflavonol.

Markham (1982), lebih jauh memaparkan bahwa spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasinya yang setara (5,7,4’) adalah kekuatan nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol dan isoflavon serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.

Proses metilasi atau glikosilasi (terutama pada 3,5,7 dan 4’-hidroksil) mengakibatkan pergeseran pita ke panjang gelombang yang lebih rendah. Sifat gula pada glikosida biasanya tidak berpengaruh. Proses metilasi terdeteksi dari pereaksi geser NaOAc yang tidak mengakibatkan pergeseran pita serapan panjang gelombang pada cincin B diduga disebabkan oleh keberadaan CH3 bukan oleh gula. Ini diperkuat dengan data Infrared (IR) dimana muncul peak serapan pada panjang gelombang 1347,19 cm-1 dimana pada daerah ini merupakan daerah serapan khas gugus-gugus metil pada alkohol dan fenol.

Pergeseran ke panjang gelombang yang lebih kecil pada pita II dengan NaOAc menunjukkan bahwa pada posisi 7 terjadi metilasi atau glikolisasi. Pergeseran panjang gelombang 10 nm pada pita I dengan AICl3 disebabkan karena mengandung gugus hidroksil pada posisi 5. Pergeseran ke arah batokromik mengakibatkan perpanjangan delokalisasi elektron oleh senyawa kompleks. Adanya gugus 5-OH didukung oleh adanya serapan yang muncul pada daerah 1639,38 cm-1 pada spektrum IR yang merupakan serapan khas flavonol dengan adanya gugus 5-OH (Geissman, 1969).

Berdasarkan data analisa spektrum UV-vis dan spektrum inframerah maka noda ke 4 (empat) diduga merupakan senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol, dengan struktur sebagai berikut :

Untuk isolat noda ke 2 yang diisolasi dengan melihat serapan panjang gelombang dari adanya pereaksi geser menunjukkan serapan panjang gelombang berada diluar rentang panjang gelombang dari spektrum khas flavonoid (240-295 nm pita II dan 300-350 nm pita I) yaitu sebesar 610-660 nm pada pita I dan 408 nm pada pita II. Ini dapat diduga bahwa isolat noda ke 2 dengan Rf 0,88 cm bukan senyawa flavonoid yang menjadi senyawa target.

Spektroskopis Infrared (FT-IR)

Analisis spektrofotometri inframerah (Fourier Transform Infrared, FT-IR) bertujuan untuk menentukan gugus fungsional suatu senyawa berdasarkan serapan spektrum elektromagnetik pada daerah IR. Hasil analisis spektrum IR menunjukkan bahwa isolat yang diisolasi mengandung gugus-gugus fungsional dengan perkiraan gugus fungsional seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.10 dan Tabel 5.7.

Pita lebar kuat pada puncak 3445,59 cm-1 menunjukkan adanya gugus –OH, puncak 2973,07 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-H asimetris dan vibrasi ulur simetris terdapat pada puncak 2866,02 cm-1, yang diperkuat dengan adanya vibrasi tekuk =C-H pada 1457,12 cm-1 dan 1347,19 cm-1. Hal ini sesuai dengan Silverstein et al, (1986), bahwa gugus-gugus metil pada alkohol dan fenol biasanya memiliki getaran tekuk simetrik (δsCH3) didekat 1375 cm-1 (7,28 µm), sedangkan getaran tekuk tak-simetrik (δαsCH3) di dekat 1450 cm-1 (6,90 µm). Pita-pita khas yang teramati dalam spektrum alkohol dan fenol dihasilkan oleh uluran (vibrasi) O-H dan uluran C-O. (Silverstein, et. al., 1986).

Vibrasi ulur C=O karbonil ditunjukkan pada puncak 1639,38 cm-1 menunjukkan adanya pita kerangka C=C yang diperkuat adanya vibrasi ulur C-O eter (jembatan O) pada puncak 1054,99 cm-1. Sedangkan daerah serapan pada puncak 800 cm-1 kebawah menunjukkan tekuk C-H keluar bidang yang berarti adanya benzena tersubstitusi (substitusi cincin aromatik).

Dari analisis hasil spektroskopis infrared tersebut menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi kemungkinan mempunyai gugus fungsi –OH, C-H, C=O, C-O, =C-H dan C-C (cincin benzena).

Berdasarkan interpretasi data yang diperoleh dari analisa spektrum UV-vis dan spektrum inframerah (IR) maka dapat disimpulkan bahwa isolat noda ke 4 (empat) dari ekstrak metanol S. cristaefolium yang diisolasi diduga merupakan senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol, dengan struktur sebagai berikut :

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dan uji toksisitas ekstrak metanol alga coklat S. cristaefolium maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil skrining fitokimia (uji golongan) senyawa ekstrak metanol S. cristaefolium mengandung beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid.
2. Hasil analisis dengan spektroskopi UV-visual dan spektroskopi infrared (IR) diduga golongan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak metanol S. cristaefolium adalah senyawa 5,6,7,-dihidroflavonol yang diperoleh dari isolat noda ke 4 pada KLT kualitatif dengan nilai Rf 0,77 cm.

Saran
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut dengan melakukan analisa yang lebih lengkap terhadap ekstrak S. cristaefolium meliputi 1H-NMR, LCMS, 13C-NMR untuk dapat menduga struktur senyawa secara lebih tepat terhadap senyawa yang telah diisolasi.

PUSTAKA

Anderson DP. 1974. Fish Immunologi. TFH Publication Ltd Hongkong. 239 p.

Anonymous, 2004. Buku Petunjuk Rumput Laut Ditjen P. Budidaya. Dinas Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor . (Khurniasari, 2004).

Boney, A. D. 1965. Aspect of the biology of the seaweeds of economic importance. In : Basic in Mar. Bot. 3 : 205 – 253.

BOYD, J. & TURVEY, J.R. (1978). Structural studies of alginic acid using a bacterial poly-a-L-guluronate lyase. Carbohydr. Res., 66: 187 – 194.

Cabbalo, J.L., Hernandez-Inda, Z.L., Perez, P., Gravalos, M.D. 2002. A Comparison between two brine shrimp assy to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product (methodology article). BMC Biotechnology. 2:1-5.

Calleja M.C, Persoone G, 1992. Cyst based toxicity test IV, The potential of ecotoxicological test for the prediction of acute toxicity in man as evaluated on the first ten chemicals of the MEIC programme, ATLA-Altern Lab Animals, 20:396-405.

Cutler, SJ., H. Cutler. Biologically Active Natural Products: Pharmaceuticals. CRC Press LLC. Boca Raton. USA 2000;1-13, 17-22, 73-92.

Gritten, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarling, "Pengantar Kromatografi", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1991, 5-9.

Harborne, JB., 1973, Phytochemical Methods: Chapman and Hall, Ltd., London, pp. 49-188

Harborne, JB., et.al., Phytochemical Dictionary: A Handbook of Bioactive Compounds from Plants, 2nd ed., Taylor & Francis Ltd., London., 1999;396, 487, 494.

Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

J.B. Harborne, Metode Fitokimia, Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan, (Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), Penerbit ITB, Bandung, 1987

Jadulco, R.C. 2002, Isolation and Structure Elucidation of Bioactive Secondary Metabolites from Marine sponges and Sponges-derived Fungi. Dissertation of Doktorgrades, University of Wuerzburg. 176p.

Ledenberg, J., 1992. Encylopedi of Microbiology, Volume Academic Press Inc, Rockefller University, New York

Markham. K.R., "Cara Mengindentifikasi Flavonoid", terjemahan K. Radmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1988, 1-117. 10.

Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobson, L. B., Nichols, D. E., and McLaughlin, J. L. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica, 45: 31-34.

Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004, Biochemical Studies Of Some Seaweed Species From Karachi Coast, Zoological Survey Department, Government of Pakistan, Karachi (PA); Department of Biochemistry, University of Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4 (2002)

Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004, Biochemical Studies Of Some Seaweed Species From Karachi Coast, Zoological Survey Department, Government of Pakistan, Karachi (PA); Department of Biochemistry, University of Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4 (2002)

Perez, H., Diaz, F., and Medina, J. D. 1997. Chemical investigation and in vitro antimalarial activity of Tabebuia ochracea ssp. neochrysantha. International Journal of Pharmacog, 35: 227-231.

Rao,-A.S.; Rao,-M.U. 2002. Seasonal growth pattern in Sargassum polycystum C. Agardh (Phaeophyta, Fucales) occurring at Visakhapatnam, east coast of India. Indian Journal of Marine Sciences [Indian-J-Mar-Sci]. vol. 31, no. 1, pp. 26-32.

Robert, M. Silverstein, G. Clayton Bassler, Terence C. Morril. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Penerbit Erlangga. Jakartan (Terjemahan A. J. Hartomo dkk).

Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida, Alkaloida. USU Repository

Stahl, E., "Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1985, 3-18. 15.

Tetsuro Ajisaka, 2006, Problems in the identification of “Sargassum duplcatum” Group, Coastal Marine Science 30(1): 174-178. Kyoto University, Japan.

Wiryowidagdo, Sumali. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. Dirjen Dikti–Universitas Indonesia. Jakarta 2000; viii + 339 hlm.

Read More......

TEKNIK EKSTRAKSI SENYAWA FLAVONOID DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium

Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi


PENDAHULAUAN

Teknik Ekstraksi Senyawa

Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan), lalu pelarut kepolarannya menengah (diklor metan atau etilasetat) kemudian pelarut bersifat polar (metanol atau etanol) (Harborne, 1987).

Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi sinambung (Harborne, 1987).

Maserasi

Metode ekstraksi umum digunakan dalam mengisolasi senyawa metabolit sekunder adalah maserasi (penggunaan pelarut organik). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dalam temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan perendaman sampel tanaman akan mengakibatkan pemecahan dinding sel dan membran sel akibat perbedaaan tekanan antara di dalam sel dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ektraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut dalam proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dalam memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut. Secara umum, pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan golongan metabolit sekunder (Darwis, 2000; Anonim, 1993).

Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kasar yang telah diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator, dimana seluruh senyawa bahan alam yang terlarut dalam pelarut yang akan digunakan berada dalam ekstrak kasar tersebut. Selanjutnya ekstrak kasar tersebut akan dapat dipisahkan berdasarkan komponen-komponen dengan metode fraksinasi partisi dengan menggunakan corong pisah.

Ekstraksi Sinambung

Ekstraksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet. Pelarut penyair yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soxhlet dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh bagian linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki (Harborne, 1987).

Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pelarut murni sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa termolabil (Harborne, 1987).

Ekstraksi Cair - Cair

Ekstraksi cair-cair diperlukan untuk mengekstraksi senyawa glikosida yang umumnya polar (aglikon berikatan dengan gula monosakarida dan disakarida). Ekstraksi cair-cair untuk glikosida biasanya dilakukan terhadap ekstrak etanol atau metanol awal. Ekstrak awal ini dilarutkan dalam air kemudian diekstraksi dengan etil asetat dan n-butanol. Glikosida terdapat dalam fase etil asetat atau n-butanol (Harborne, 1987).

Selain itu, ekstraksi cair-cair dilakukan terhadap reaksi awal untuk menghilangkan lemak dan ekstrak tersebut jika bagian tumbuhan yang diekstraksi belum dihilangkan lemaknya pada ekstrak awal (Harborne, 1987).

METODELOGI PENELITIAN

Prosedur Ekstraksi Metabolit Sekunder S. cristaefolium

Alga coklat Sargassum cristaefolium yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari perairan Sumenep Madura, yang telah dikeringkan dengan kadar air sekitar 10-20 %. Sampel dalam bentuk serbuk halus kering digunakan sebagai sampel untuk diekstraksi.
Ekstraksi senyawa bioaktif dari S. cristaefolium menggunakan metode maserasi bertingkat. Sebanyak 500 gram sampel diekstraksi secara maserasi bertingkat menggunakan pelarut dengan kepolaran yang berbeda. Pelarut polar kloroform sebanyak 1 liter (1000 ml) selama 24 jam pertama kemudian disaring. Maserasi dengan pelarut kloroform ini sebanyak 3 kali. Setelah itu ampas dikeringkan hingga terbebas dari pelarut kloroform dan dimaserasi kembali selama 24 jam menggunakan pelarut semi polar aseton sebanyak 1 liter (1000 ml) kemudian disaring. Maserasi dengan pelarut aseton ini sebanyak 2 kali. Setelah itu ampas kembali dikeringkan sampai terbebas dari pelarutnya. Selanjutnya dimaserasi kembali dengan pelarut polar yaitu metanol sebanyak 1 liter (1000 ml) selama 24 jam kemudian disaring. Maserasi dengan pelarut metanol ini sebanyak 2 kali. Ketiga ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary vacum evaporator pada suhu 600C sampai diperoleh ekstrak pekat kloroform, aseton, dan metanol. Asumsi perbandingan pelarut kloroform, aseton, dan metanol dengan sampel secara berturut-turut sebanyak 6:1, 4:1 dan 4:1. Prosedur kerja ekstraksi maserasi bertingkat S. cristaefolium secara singkat disajikan dalam Lampiran 1.
Ketiga ekstrak pekat yang diperoleh selanjutnya diuji toksisitasnya dengan mengunakan larva udang A. salina L.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi

Serbuk S. cristefolium sebanyak 500 gram diekstraksi dengan metode ekstraksi bertingkat pada pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu kloroform (non polar), aseton (semi polar) dan metanol (polar). Metode ekstraksi senyawa secara singkat disajikan dalam lampiran 1. Hasil ekstraksi berupa cairan ekstrak kasar berwarna hitam kehijauan. Setelah dievaporasi (rotary vaccum evaporator) pada suhu 600C diperoleh ekstrak berupa ekstrak pekat (pasta) masing-masing ekstrak kloroform 53 mg, ekstrak aseton 34 mg dan ekstrak metanol 14 mg. Hasil ekstraksi S. cristaefolium disajikan dalam Tabel 5.1, sebagai berikut :

Tabel 5.1. Hasil Ekstraksi S. cristaefolium.
No Jumlah Serbuk Pelarut Jumlah Pelarut Lama Maserasi Ekstrak Kasar Ekstrak Pekat

1 500 Kloroform 3000 3 x 24 1838 53
2 500 Aseton 2000 2 x 24 1169 34
3 500 Metanol 2000 2 x 24 1247 14


Kepolaran pelarut merupakan pertimbangan penting dalam ekstraksi senyawa flavonoid. Menurut Andersen dan Markham (2006), flavonoid yang memiliki kepolaran yang rendah, seperti isoflavon, flavanon, flavon methyl dan flavonol, dalam ekstraksinya menggunakan pelarut kloroform, diethyl eter, atau ethyl asetat pada flavonoid glikosida. Sedangkan pada flavonoid yang memiliki tingkat kepolaran aglikon dapat diekstraksi dengan alkohol atau campuran alkohol-air. Lebih lanjut, untuk bahan serbuk dari tumbuhan dapat juga diekstraksi dengan heksana untuk memecahkan kandungan lemaknya dan dengan pelarut ethyl asetat atau etanol untuk kandungan phenolnya. Namun pendekatan ini tidak cocok dengan senyawa-senyawa yang sensitif terhadap panas.

Penggunaan pelarut kloroform (non polar) pada ekstraksi simplisia awal dengan jumlah yang lebih banyak dimaksudkan untuk memaksimalkan hidrolisis (pemecahan) dan penarikan senyawa yang terdapat dalam sampel S. cristaefolium. Pelarut non polar memiliki kemampuan untuk memecah kandungan lemak (lipida) yang terdapat dalam serbuk yang ekstraksi. Dengan pemecahan lemak tersebut maka akan memudahkan dalam mengekstraksi senyawa target flavonoid yang memiliki sifat polar. Senyawa polar biasanya akan lebih baik diekstraksi dengan pelarut golongan polar seperti etanol atau metanol. (Harbone, 1984). Hal ini sejalan dengan Markham (1988), untuk membebaskan senyawa yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil dan lainnya dengan ekstraksi memnggunakan heksana atau kloroform.
Absorbsi flavonoid yang sangat rendah disebabkan oleh karena dua faktor utama, yaitu 1). Flavonoid merupakan molekul dengan rantai yang beragam sehingga tidak cukup kecil untuk dilarutkan dengan difusi langsung. 2). Flavonoid merupakan tipe molekul yang memiliki kelarutan yang rendah dalam minyak dan lipid lainnya. Hal ini sangat membatasi kemampuan flavonoid untuk melewati kandungan lemak dari luar membran sel. Keberadaan lipid diluar membran sel tersebut harus dihidrolisis terlebih dahulu dengan pelarut non polar untuk menghilangkan lipid pada membran luar sel. Hal ini memudahkan pelarut polar dengan polaritas yang seimbang dengan flavonoid seperti metanol untuk melarutkan senyawa flavonoid yang terkandung dalam S. cristaefolium tersebut. Prashant, et. al., (2009) lebih jauh menjelaskan bahwa material awal dari kandungan flavonoid tidak dapat larut dengan pelarut seperti kloroform, diethyl eter atau benzene. Dengan demikian, ekstrak yang akan dilanjutkan dalam pemisahan dan identifikasi senyawa flavonoid adalah ekstrak dari pelarut polar yaitu ekstrak metanol.

Ekstrak pekat yang diperoleh digunakan dalam uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan larva A. salina umur 48-72 jam untuk mengetahui kemampuan aktifitas senyawa dalam ekstrak. Dari uji toksisitas dapat diketahui ekstrak yang aktif untuk dilanjutkan ke tahap isolasi dan identifikasi senyawa.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kepolaran pelarut merupakan pertimbangan penting dalam ekstraksi senyawa flavonoid.
2. Pelarut metanol memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa flavonoid yang terdapat dalam S. cristaefolium.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pelarut yang lebih beragam untuk mengekstraksi senyawa dari S. cristaefolium untuk mengetahui kemampuan pelarut dalam mengekstraksi senyawa dari bahan alam.

PUSTAKA

Fahri, M. 2010. Thesis. Tidak dipublikasikan.


Read More......

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID SERTA UJI TOKSISITAS EKSTRAK METANOL DARI ALGA COKLAT (Sargassum cristaefolium)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID SERTA UJI TOKSISITAS EKSTRAK METANOL DARI ALGA COKLAT (Sargassum cristaefolium)



PUBLIKASI ILMIAH



JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010



RINGKASAN


Muhammad Fahri. Program Pasca Sarjana Budidaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Serta Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Dari Alga Coklat (Sargassum cristaefolium). Ketua Komisi Pembimbing : Prof Ir. Yenny Risjani, DEA. Ph.D. Anggota Komisi Pembimbing : Dr. Drs. Sasangka Prasetyawan, MS.

Banyak hasil bahan alam kelautan yang mempunyai bioaktivitas antitumor (Kamiya, et al. 1987), antiviral (Rinehart et al., 1993), komponen sitotoksik (Schmitz et al. 1993), dan lain-lain. Studi-studi tersebut memperlihatkan bahwa lingkungan kelautan merupakan sumber yang kaya akan komponen bioaktif, banyak di antaranya memiliki struktur kimiawi yang tidak ditemukan dalam sumber dari lingkungan terestial (Jadulco, 2002).

Indonesia memiliki potensi alga yang sangat tinggi. Tercatat sedikitnya ada 555 jenis alga di perairan Indonesia. Sargassum merupakan alga coklat (Phaeophyceae) multiseluler yang diduga memiliki senyawa-senyawa metabolisme sekunder berupa alkaloid atau flavonoid. Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan merupakan senyawa bioaktif yang dapat digunakan dalam dunia pengobatan, misalnya sebagai antikanker.

Tujuan penelitian ini adalah isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid yang terkandung dalam Sargassum cristefolium dan untuk mengetahui daya toksisitas ekstrak Sargassum cristaefolium sebagai uji pre-skrining awal untuk senyawa yang memiliki potensi sebagai antikanker atau antitumor.

Telah dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa golongan flavonoid serta uji toksisitas ekstrak metanol Sargassum cristaefolium. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi bertingkat, menghasilkan ekstrak kloroform, ekstrak aseton dan ekstrak metanol. Ketiga ekstrak yang diperoleh diuji aktifitasnya dengan hewan uji larva udang Artemia salina L dengan metode BSLT. Hasil uji toksisitas ekstrak adalah ekstrak klorofom dengan nilai LC50 sebesar 1,88 ppm, ekstrak aseton dengan nilai LC50 sebesar 3,97 ppm dan ekstrak metanol dengan nilai LC50 sebesar 3,02 ppm. Ketiga ekstrak sangat berpotensi sebagai senyawa antikanker atau antitumor yang berasal dari bahan alam khususnya dari tumbuhan laut.

Uji golongan fitokimia senyawa ekstrak metanol S. cristaefolium mengandung beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid. Isolasi ekstrak metanol dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif dan preparatif dengan eluen toluen:eter:asam asetat (10:10:2) serta analisa HPLC kualitatif. Analisa Identifikasi isolat dengan spektrofotometri UV-vis menggunakan pereaksi geser dan Spektrofotometri Infrared (FT-IR).
Hasil analisis dengan spektroskopi UV-visual menggunakan pereaksi geser dan spektroskopi infrared (IR) diduga golongan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak metanol S. cristaefolium adalah senyawa 5,6,7,-dihidroflavonol yang diperoleh dari isolat noda ke 4 pada KLT kualitatif dengan nilai Rf 0,77 cm. Dari analisis hasil spektroskopis infrared tersebut menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi kemungkinan mempunyai gugus fungsi –OH, C-H, C=O, C-O, =C-H dan C-C (cincin benzena).

Kata Kunci : Isolasi, Identifikasi, Uji Toksisitas, Metanol, Flavonoid, S. cirstaefolium. dihidroflavonol.


SUMMARY


Muhammad Fahri. Postgraduate Program of Fishery and Marine Aquaculture Science, Faculty of Marine Science and Fishery Brawijaya University. Isolation And Identification of Flavonoids Compound And Toxicity Test of Methanol Extract From Brown Algae (Sargassum cristaefolium). Advisor: Prof. Ir. Yenny Risjani, DEA, Ph.D. Co-advisor : Dr. Drs. Sasangka Prasetyawan, MS.

Many of marine natural products that have anticancer activity against (Kamiya, et al 1987)., Antivirus (Rinehart et al., 1993), cytotoxic component (Schmitz et al 1993)., And the others. These studies indicate that the marine environment is a rich source of bioactive components, many of which have chemical structures that are not found in the sources of terestial environmental (Jadulco, 2002).

Indonesia has a very high potential of algae. Noted there are at least 555 species of algae in the waters of Indonesia. Sargassum is a multicellular brown algae (Phaeophyceae) suspected of secondary metabolic compounds such as alkaloids or flavonoids. This compound may be bioactive compounds that can be used in the medical world, such as anticancer.

The purpose of this study was isolation and identification of flavonoid compounds contained in Sargassum cristefolium and to know the toxicity potency of extracts of Sargassum cristaefolium as a pre-screening test for compounds that have potential as anticancer or antitumor early.

Have been isolation and identification of flavonoid compounds and the toxicity test of methanol extract of Sargassum cristaefolium. Extraction was done by maceration increased, so that the extract producted of chloroform, acetone and methanol extracts. All three extracts obtained were tested by animal test activities Brine shrimp Artemia salina L with BSLT method. Toxicity test is to extract the chloroform extract with LC50 values of 1.88 ppm, acetone extract with LC50 values of 3.97 ppm and the methanol extracts with LC50 value of 3.02 ppm. All three extracts are very potent of anticancer or antitumor compounds derived from natural ingredients, primarily from marine plants.

The Test groups of phytochemical compounds from methanol extracts of S. cristaefolium its contains several compounds including flavonoids, flavone, alkaloids, terpenoids and steroids. The isolation of methanol extract by Thin Layer Chromatography (TLC) qualitative and preparative with eluent is toluene: ether: acetic acid (10:10:2) and qualitative HPLC analysis. Identification of isolates by analysis of UV-vis spectrophotometer using a reagent shear and Infrared Spectrophotometry (FT-IR).

The Result analysis by UV-visual spectroscopy using a reagent shear and infrared spectroscopy (IR) suspected of flavonoids contained in the methanol extract of S. cristaefolium is a compound is 5,6,7,-dihidroflavonol isolates obtained from place to fourth in the qualitative TLC with Rf value is 0.77 cm. Spectrophotometry infrared analysis showed that the compound isolated has the possibility of functional group is -OH, C-H, C=O, C-O, = C-H and C-C (benzene ring).

Keyword : Isolation, Identification, Methanol, Toxicity Test, Flavonoids, Sargasssum cristaefolium, Dihidroflavonol.








Read More......

Rabu, 26 Mei 2010

MARINE ALGAL POLYPHENOLICS

Polyphloroglucinol phenolics are the best known example of chemical deterrents against herbivores in temperate marine systems. However, most of the research on these compounds has been done in North America, where phenolic levels in algae are often low. I show here that algae in the Orders Fucales and Laminariales in temperate Australia and New Zealand typically contain very high levels of polyphenolics-much higher than species in these orders in North America. The median value for the distribution of mean phenolic levels for 25 North American species is 1.33% total phenolics (dry wt.); for 37 Australasian species, the median is 6.20%. Significant spatial, temporal, and intraplant variation in phenolic content occurs in a number of species in Australasia, but this does not significantly alter my major conclusion.

Phenolic levels in drift algae (an important food source for some herbivores) detached for up to two weeks are also not significantly different from living, attached plants. Many species in the Fucales in Australasia also contain non-polyphenolic secondary metabolites that are not found in North American species. Thus herbivores in Australasia face greater amounts, and a greater range,of putative chemical defenses in brown algae than do herbivores in similar systems in North America. Any general theory for the evolution of marine plant/herbivore interactions must take into account such broad-scale biogeographical (and taxonomic) patterns.

The diversity and intensity of selection pressure on organisms has been described as varying predictably across biogeographic zones, generally increasing with decreasing latitude. Apparent effects of this increased selective pressure in the tropics include patterns in species diversity (Pianka 1966), diversity and quantity of allelochemicals (Bakus and Green 1974; Levin 1971, 1976; Levin and York 1978; Hay and Fenical 1988; Coley and Aide 1991; Hay and Steinberg in press), predation intensity, inferred antipredatory morphological structures (Vermeij 1978; Jeanne 1979; Bertness et al. 1981; Heck and Wilson 1987) and herbivory (Levin 1976; Lubchenco and Gaines 1981; Gaines and Lubchenco 1982; Steneck 1988; Hay and Steinberg in press). In the marine environment, herbivory is most intense at low latitudes (Vermeij 1978; Lubchenco and Gaines 1981 ; Steneck 1988 ; Hay and Steinberg in press). Algal chemical defenses generally Offprint requests to: N.M.

Targett parallel this latitudinal variation in herbivory with increasing concentration and diversity of allelochemicals with decreasing latitude (Hay and Fenical 1988; Hay and Steinberg in press). Phloroglucinol-based polyphenolics (phlorotannins, see Ragan and Glombitza 1986), antifeedant allelochemicals which occur exclusively in brown algae (Phaeophyta), have been reported as an exception to this trend, increasing in concentration with increasing latitude (Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg et al. 1991 ; Steinberg and Van Altena in press).

This is in contrast to terrestrial data on condensed tannins for broad leaved forest species, which show that temperate species have lower phenolic concentrations than tropical ones (Coley and Aide, 1991 and references therein). In marine temperate regions, where considerable data exist on phlorotannin concentrations, brown algae are characterized as either high or low phenolic species. High phenolic species are defined as those with phenolic concentrations > 2% of their dry weight, the threshold level at which herbivory is typically deterred (Swain 1979; Geiselman and McConnell 1981 ; Steinberg 1988). However, a high degree of inter- and intraspecific variability in phenolic concentration has been observed (Ragan and Glombitza 1986; Steinberg 1986, 1988, 1989).

Phenolic concentrations in tropical phaeophytes have been reported only from Indo-Pacific species; therefore, a less complete picture is available for tropical than for temperate browns (Hay and Fenical 1988; Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg 1986, 1989; Steinberg et al. 1991 ; Steinberg and Van Altena in press). In the Indo-Pacific, phenolic concentrations have been found to be low, although Padina spp. from Magnetic Island, Australia (Steinberg et al. 1991) and individual plants in two other genera (Lobophora and Dictyopteris) were noted as exceptions (Steinberg and Paul 1990). Although brown algal phenolic concentrations have not been determined for any Caribbean species, patterns of herbivore preference have been used to suggest that polyphenolics might be high in some species (Norris and Fenical 1982). We examined phenolic levels in tropical phaeophytes from both the Caribbean and western Pacific and in selected species from the temperate western Atlantic and eastern Pacific (i.e. both coasts of North America). These levels were compared to literature values to determine: 1. Are there latitudinal trends in phenolic concentrations? 2. Are there interoceanic differences between tropical Old World (Indo-Pacific)and Neotropical (Caribbean) phaeophyte phenolic concentrations? 3. Does the magnitude of intraspecific phenolic variability in tropical and temperate phaeophytes overshadow observed latitudinal trends?


Tropical Species
The Caribbean phaeophytes (orders Fucales and Dictyotales) that we examined had phenolic concentration levels ranging from 1.34% to 14.92% dry weight. Caribbean Fucales all had high phenolic concentrations (> 2 %) and tested positive for phloroglucinol derivatives. Two of the four Caribbean Dictyotales examined (Stypopodium zonale and Lobophora variegata in each of its three forms, Coen and Tanner 1989) also had high phenolic concentrations. The dry weight phenolic concentration values for the Lobophora forms and for Stypopodium (8.33% 13.39% and 14.92% respectively) far exceeded all previously reported values for species in this order. Thus, our data from Caribbean phaeophytes in which six of eight species produced phenolic concentrations in excess of 2% (3.37%-14.92%) show that high phlorotannin concentrations are not limited to temperate species. Tropical interocean differences are evident when comparing phenolic concentration values for phaeophyte genera common to the Indo-Pacific and Caribbean. Lobophora variegata, the only species examined in this study that is common to the tropical areas listed, showed low phenolic values for Pacific (0.81%, Hawaii, Table 1) and Indo-Pacific (<2%, p="0.006)," p="0.002)"> 2% dry weight), while species in the orders Laminariales and Dictyotales typically have low levels (Steinberg 1985, 1989; Ragan and Glombitza 1986; Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg et al. 1991 ; Steinberg and Van Altena in press). Earlier studies also show that polyphenolic levels in tropical Fucales and Dictyotales from the Indo-Pacific are low (Steinberg 1986, 1989; Hay and Fenical 1988; Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg et al. 1991). Our results clearly demonstrate that species in the tropics can be high in phenolics. Data from our study and from the literature, where extraction and quantification procedures allow comparisons to be made, also indicate that intraspecific variability may be as high as interspecific variability. Of the phenolic values obtained, most striking were the values obtained for the three forms of Lobophora (Coen and Tanner 1989) and for Stypopodium (8.33-13.39% and 14.92% dry weight respectively). Phloroglucinol and a variety of phenolic acids have been reported from Lobophora variegata (form not specified) collected in Brazil (Legaz et al. 1985). Acetate-derived phenolic lipids have been described from Lobophora papenfussii (Gerwick and Fenical 1982) and their presence in Lobophora variegata (form unspecified) from the Florida Keys has been hypothesized (Paul and Hay 1986). However, higher-molecular-weight phlorotannins are also evident (Folin-Denis test, Lindt test, 1H NMR) in molecular sizing
experiments done on aqueous extracts from each of the three forms of Lobophora collected in Belize (Boettcher and Targett unpublished data). Fresh Stypopodium is known to contain a series of primarily mevalonatederived low-molecular-weight phenolic metabolites (<> 100,000Da (Boettcher and Targett unpublished data).

The absence of a latitudinal phlorotannin trend between Caribbean tropical and temperate phaeophytes and the presence of site-specific phlorotannin variability within species suggests that other factors may play a more critical role within a biogeographic region in determining phenolic concentrations. Variability in phenolic concentration may be influenced by extrinsic factors such as salinity (Ragan and Glombitza 1986), nutrient availability (Ilvessalo and Tuomi 1989), herbivore intensity (Van Alstyne 1988) and season (Ragan and Jensen 1978 ; Ragan and Glombitza 1986). Intrinsic plant factors such as size (Denton et al. 1990), age (Pederson 1984), and tissue type (Steinberg 1984; Tugwell and Branch 1989; Tuomi et al. 1989) may also play a role. The magnitude of the variation in phenolic concentration is often high enough to alter the palatibility of plants to herbivores (Swain 1979; Geiselman and McConnell 1981; Steinberg 1988). Studies regarding the effect of plant phlorotannin concentration on marine tropical herbivores have yielded conflicting results. Van Alstyne and Paul (1990) showed that phlorotannins from temperate species are effective deterrents against some tropical herbivores when they are incorporated into tropical analogues at concentrations > 2% dry wt, while Steinberg et al. (1991) showed that quantitative variability in temperate and tropical algal phenolic levels do not correlate with the susceptibility of these algae to herbivory. These and other studies make supportive arguments based upon the assumption that all tropical phaeophytes are typically low in phenolics and invoke physiological and cost arguments as explanations for their low concentrations (Steinberg 1986; Hay and Fenical 1988; Van Alstyne 1988; Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg et al. 1991; Hay and Steinberg in press; Steinberg and Van Altena in press). Our study shows that phenolics can be present in high and variable concentrations in tropical Caribbean phaeophytes, and thus the assumption that phlorotannins are of little consequence in tropical marine plant-herbivore interactions because of their low concentrations (Steinberg 1986; Hay and Fenical 1988; Van Alstyne 1988; Steinberg and Paul 1990; Van Alstyne and Paul 1990; Steinberg et al. 1991) is premature.

Our results in combination with previously published data suggest that there is an interoceanic difference between phenolic concentrations in tropical Indo-Pacific phaeophytes and Caribbean phaeophytes. Grazing intensity is higher in the Pacific and Indian oceans than in ecologically similar communities in the Atlantic (Vermeij 1978; Estes and Steinberg 1988; Steinberg and Van A1-tena in press). Grazing intensity thus correlates negatively with our observations of phaeophyte phenolic concentrations and calls into question the role of phlorotannins in defense. However, other extrinsic and intrinsic factors may confound the interpretation and should be examined (Bernays et al. 1989). To explain these differences and those in temperate and tropical marine plant-herbivore interactions, it is now evident that more subtle within-plant (Zucker 1983; Gaines 1985; Lewis et al. 1987; Coen and Tanner 1989) and among-herbivore (Gaines 1985; Hay et al. 1987; Horn 1989) characteristics must be examined. These include phenotypic variation in phenolic concentrations, phlorotannin size distributions, induction of phenolics by herbivores, as well as herbivore features such as gut pH and the presence of gut surfactants. Studies such as these will allow a further comparison between the importance of biological/physical factors and geographic distribution in determining phlorotannin concentrations.

Keterangan Gambar :
1. Jenis Alga Laut
2. Struktur Serotonin
3. Spirulina salah satu hasil alga laut


Nb* Dari banyak sumber bacaan.

Read More......

SAHABAT MAYA :

SEARCH LINK :

Label List

VISIT TOROWAMBA BEAUTY BEACH

VISIT TOROWAMBA BEAUTY BEACH
torowamba as one of tourism asset in sape bima

NEW MOTIVATION :

SUNGGUH SANGAT MEMALUKAN JIKA KAPAL BESAR KITA BERBALIK HALUAN KEBELAKANG HANYA UNTUK MENGURUS SAMPAN KECIL MASALAH. AYO !!! MAJU TERUS BRO !
Template by KangNoval & Abdul Munir | blog Blogger Templates