Indonesia merupakan negara dengan bentuk kepulauan yang terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari 13.000 pulau besar kecil dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi 26 juta Ha areal perikanan laut dan pantai. Selain sebagai lahan penangkapan ikan, perairan pantai juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya perairan (marine aquaculture). Dari areal lahan pantai seluas 26 juta Ha, hanya 680.000 Ha atau kurang dari 3% yang dimanfaatkan untuk produksi (ADB, 2006, Project Number 35183).
Salah satu bidang aquaculture (budidaya perairan) yang berkembang dewasa ini adalah budidaya rumput laut (seaweed culture) terutama budidaya rumput laut jenis Eucheuma Cottonii. Indonesia memiliki potensi areal budidaya rumput laut seluas 1,2 juta Ha, dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per Ha. Apabila seluruh lahan bisa dimanfaatkan maka akan dapat dicapai 17.774.400 ton per tahun dengan harga Rp.4,5 juta per ton. Dengan kisaran jumlah produksi dan tingkat harga tersebut, akan diperoleh nilai Rp.79,984 triliun. Namun dari potensi area yang sangat luas ini, Indonesia saat ini hanya mampu mengusahakan 3% dari potensi lahan yang ada (BEI News Maret-April, 2005).
Berdasar data yang dikemukakan di atas, masih terbuka lebar peluang usaha budidaya dan investasi pemrosesan rumput laut. Peluang usaha itu semakin besar sejalan dengan perkembangan permintaan rumput laut dunia yang meningkat rata-rata 5-10% per tahun. Dewasa ini permintaan rumput laut yang ditujukan kepada eksportir Indonesi diindikasikan sudah mencapai 48.000 ton rumput laut kering per tahun(World Bank Report, 2006).
Rumput laut pada waktu ini menjadi salah satu komoditas pertanian penting yang makin banyak dibudidayakan karena permintaan terhadapnya makin meningkat. Disamping karena kandungan agarnya juga ada kandungan karagenan (Carrageenan) yang penggunaannya makin meluas. Rumput laut dengan kandungan bahan untuk agar terutama didapatkan dari spesies Gracilaria dan Gelidium, sedangkan untuk kandungan karagenan banyak dibudidayakan spesies Eucheuma, ialah Eucheuma Cottoni dan Eucheuma. Sebagai karagenan, rumput laut kering diolah menjadi bentuk tepung untuk diekspor dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan pasar lokal mencapai 22.000 ton per tahun (Ekon. Neraca 2 Juni 1999).
Karagenan merupakan bahan yang unik untuk berbagai industri makanan seperti kemampuan dengan konsentrasi rendah mengikat cokelat ke dalam susu cokelat. Sari karegenan juga dipergunakan untuk pembuatan “dessertgel” semacam agar untuk hidangan penutup makan. Karagenan memiliki derajat panas pencairan yang tinggi, sehingga mudah dipasarkan di daerah tropis atau di tempat yang tidak tersedia lemari pendingin (refrigerator). Agar karagenan juga banyak dipergunakan sebagai bahan penambah (additive) pada berbagai makanan Eropa.
Fungsi karagenan sebagai perekat pasta gigi menyaingi penggunaan sodium carboxymethylcellulose (SCMC), karena keunggulan kualitasnya dan penampilan karagenan dalam pasta gigi. Karagenan juga sangat penting di dalam industri makanan binatang piaraan (Pet Food), penyegar udara (Air Freshener) dan dalam daging hamburger sebagai subsitusi lemak. Penggunaan karagenan rumput laut akan bertambah makin luas dan makin banyak di masa yang akan datang, sehingga permintaan terhadap produksi rumput laut ini akan terus meningkat di masa mendatang.
Potensi usaha budidaya ini akan terus berkembang sejalan makin luasnya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan makanan, polimer maupun bahan dasar kertas dan industri lainnya. Untuk memanfaatkan peluang pasar yang masih sangat terbuka ini, maka usaha-usaha di bidang rumput laut yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah:
1. Pembukaan usaha budidaya rumput laut, atau pengembangan perluasan usaha dengan perluasan areal budidaya.
2. Pengolahan paska panen untuk memperoleh nilai tambah
3. Industri pemroses rumput laut untuk produk makanan siap saji, Semi Refined Carrageenan (SRC) dan Alkali Treated Carrageenan (ATC).
Hampir seluruh daerah di Indanesia dapat dilangsungkan usaha budidaya rumput laut antara lain di Sulawesi, Bali, NTB dan NTT, serta Papua. Di NTB rumput laut banyak dibudidayakan di Pulau Bali, Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok. Mengingat besarnya permintaan pasar terhadap bahan baku rumput laut tersebut dibidang industri baik makanan, bahan baku kosmetika, dunia medis, dan industri maka diperlukan usaha penyediaan bahan baku yang memiliki kualifikasi yang dapat diterima. Dengan produksi yang tinggi maka ketersediaan bahan baku menjadi tersedia dan menentukan keberlangsungan usaha lanjutan bidang ini.
Berdasarkan peluang usaha yang dianalisa maka prospek usaha yang menguntungkan dibidang rumput laut ini maka dipilih usaha budidaya dan pemrosesan rumput laut bahan baku industri dalam skala yang lebih besar. Bentuk produk yang akan diproduksi adalah rumput laut jenis Euchema cottoni dengan pola usaha budidaya metode tali letak dasar.
Gambar 1. Rumput laut jenis Euchema cottoni
Pemilihan usaha budiaya rumput laut sebagai ide bisnis ini didasari semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional dan bahkan internasional terhadap bahan baku dan makin meluasnya skala pemanfaatan bahan baku rumput laut dalam dunia industri. Kebutuhan yang kian meningkat ini menjadi tantangan untuk dapat dipenuhi terutama dari usaha budidaya dan pemrosesan rumput laut. Sebagai daerah yang didominasi oleh wilayah perairan menjadikan potensi pengembangan rumput laut yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan dengan pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60 hari), transfer teknologi mudah, serta mampu melibatkan partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain dipengaruhi oleh kenyataan bahwa komoditas ini belum memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun internasional.
Segmentasi Pasar dan Target Pasar
Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat ini tergolong minim dan penyebarannya masih terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Makassar dan Jakarta. Minimnya industri hilir dalam negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi industri hulu yang mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi tidak diimbangi dengan pengembangan industri hilir, sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran (domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah.
Hasil panen produksi budidaya oleh pembudidaya, dijual dalam bentuk rumput laut kering, setelah dijemur selama 3 sampai 4 hari. Rumput Laut Kering dimasukkan ke dalam karung-karung plastik untuk dijual kepada para pedagang pengumpul atau kepada Koperasi yang kemudian menjualnya kepada pengusaha / pabrik pengolahan rumput laut di beberapa kota besar di Indonesia. Para pengumpul membeli rumput laut kering dari nelayan dengan harga sekitar Rp. 3.500 – Rp. 5.000 per kilogram, tergantung pada jenis rumput laut ataupun jarak lokasi budidaya ke perusahaan pengelola. Pemasaran seperti ini bagi pembudidaya memang tidak menguntungkan dari segi harga.
Gambar 2. Pengolahan pasca panen rumput laut
Segmentasi Pasar
Permintaan rumput laut dipengaruhi oleh permintaan pengguna rumput laut yaitu industri-industri makanan, obat-obatan dan bahan polimer. Ekspor rumput laut Indonesia secara total selalu meningkat pesat. Perkembangan ekspor itu terjadi pada hampir seluruh negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia, Peningkatan ekspor paling pesat terjadi pada negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia di Asia yaitu: Cina, Hongkong dan Phillipina.
Proyeksi peluang pasar, ekspor rumput laut Indonesia mengalami perkembangan rata-rata 15% per tahun. Selain ditunjukkan oleh perkembangan ekspor juga dapat dilihat dari selisih antara jumlah permintaan/kebutuhan dunia dan jumlah yang mampu diproduksi.
Kondisi tingkat penawaran rumput laut di tingkat dunia yang belum mampu memenuhi permintaan yang ada. Hal demikian juga terjadi di Indonesia, kemampuan produksi yang ada masih kecil dibanding permintaan. Penawaran suatu produk selalu berada pada posisi sebatas kemampuan kapasitas produksi. Pada tahun 2005 permintaan rumput laut dunia mencapai 260.571.050 ton berat kering sementara Indonesia hanya mampu memenuhi sejumlah 300.000 ton berat kering. Jadi penawaran rumput laut masih jauh dari kebutuhan atau permintaan.
Sebagai gambaran Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memiliki potensi areal budidaya rumput laut seluas 6.000 Ha dengan potensi produksi 28.100 ton, namun kenyataannya pada tahun 2005 hanya mampu memproduksi 419 ton rumput laut kering, suatu jumlah yang jauh dari potensi yang ada (Sunarpi et.al, April 2006). Hal ini menunjukkan bahwa potensi budidaya rumput laut belum dimanfaatkan secara optimal.
Ekspor rumput laut Indonesia dalam posisi belum menggembirakan, karena mayoritas masih dilakukan dalam bentuk raw seaweed atau rumput laut kering atau raw seaweed, sedangkan ekspor hasil olahan rumput laut (ekstrak) masih kecil porsinya. Pada tahun 2000 jumlah ekspor rumput laut kering 25.000 ton, dan ekspor ekstrak berjumlah kurang lebih 15.000 ton. Pada tahun 2004 ekspor rumput laut kering kurang lebih berjumlah 55.000, ekstrak rumput laut kurang lebih 10.000 ton, dan total ekspor rumput laut sebesar 65.000 (Neish. Ian Charles, 2006).
Dengan berpedoman data produksi dan ekspor maka dapat dinyatakan bahwa :
1. Peluang pasar dan perluasan usaha budidaya rumput laut masih sangat terbuka karena realisasi produksi jauh berada di bawah kapasitas produksi dan permintaan rumput laut kering.
2. Ekspor rumput laut Indonesia sebagian besar adalah raw seaweed, dengan demikian terdapat peluang yang cukup besar untuk membuka investasi industri pengolahan ekstrakt rumput laut yang memiliki nilai tambah (value added).
Rantai pemasaran rumput laut berawal dari pembeli besar yang biasanya exporter atau pemroses rumput laut (pabrikan). Pabrikan akan mengadakan negosiasi transaksi kepada pedagang besar, tentang harga, spesifikasi produk dan syarat-syarat pembayaran. Dalam proses transaksi ini, biasa terjadi pedagang besar diberi modal atau uang muka untuk pengadaan barang. Selanjutnya pedagang besar aka melakukan kontak kepada pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang kecil inilah yang melakukan pencarian/ pengumpulan rumput laut kering, proses awal (sortir dan pemilihan) dan pembayaran kepada petani pembudidaya.
Biasanya pedagang pengumpul sudah memiliki “anak buah” yaitu pembudidaya yang diberi pinjaman modal dan akan menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul tersebut. Untuk pedagang besar akan mengumpulkan rumput laut kering dari pedagang pengumpul dan juga dari pembudidaya binaannya.
Ditinjau dari aspek transportasi, komunikasi dan ketersediaan produk yang jauh dibawah permintaan maka kendala pemasaran dapat dikatakan tidak ada. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kendala dalam pemasaran yaitu aspek kualitas.
Kendala utama pemasaran utama dan pertama-tama harus ditangani adalah masalah kepercayaan pada produk yang ditawarkan. Kepercayaan akan terbentuk melalui terpenuhinya standard mutu produk rumput laut (Neish, 2006). Aspek kualitas ini banyak dipengaruhi aspek teknologi dan pengolahan pasca panen (DKP, 2006). Dengan keadaan seperti itu, maka kendala yang ada sebenarnya adalah tantangan pasar dan tuntutan persaingan untuk selalu meningkatkan mutu. Untuk merebut posisi dan kepercayaan pasar, standard mutu produk rumput laut yang diekspor harus memenuhi berbagai kriteria (Neish, 2006):
1. Aspek Produk.
a. Kadar air atau tingkat kelembaban max 38%
b. Prosentasi kotoran pada rumput laut maksimum 2%
c. Umur pemanenan minimum 45 hari.
d. Kadar garam rumput laut.
2. Aspek standarisasi produk.
a. Standarisasi produk sesuai dengan kebutuhan pasar.
b. Prosedur standar menggunakan uji laboratorium
c. Diterapkan dan dipatuhinya manual mutu dan produksi
d. Sertifikasi sebagai penjaminan mutu.
Pemakaian karaginan diperkirakan 80% digunakan dibidang industry makanan, farmasi dan kosmetik. Pada industry makanan sebagai stabilizer, thickener, gelling agent, additive atau komponen tambahan dalam pembuatan coklat, milk, pudding, instant milk, makanan kaleng dan bakery. Untuk industry non food antara lain pada industry :
- farmasi: sebagai suspensi, emulsi, stabilizer dalam pembuatan pasta gigi, obat-obatan, mineral oil.
- Industri-industri lain : misalnya pada industry keramik, cat dan lain-lain.
Segmentasi pasar rumput laut yang akan digarap dalam usaha budidaya ini dengan memproduksi Euchema cottoni yang bisa diharap pada segmen pasar bahan baku industry pengolahan makanan siap saji maupun Alkali Treated Carrageenan (ATC) dan Semi-refined Carrageenan (SRC). Dengan menggarap segmen pasar ini maka usaha budidaya dan pemrosesan rumput laut ini dapat memproduksi kualitas rumput laut yang sesuai dengan permintaan pasar di segmen pasar ini.
Target Pasar
Target pasar dari bisnis budidaya rumput laut E. cottonii adalah para perusahaan pangan dan non pangan yang menggunakan campuran rumput laut sebagai pengolahan produknya. Produk ditawarkan nantinya juga akan sangat memperhatikan peluang pasar baik nasional maupun Internasional.
Posisi daya saing Indonesia dapat ditingkatkan melalui peningkatan mutu produk. Mutu produk dapat ditingkatkan melalui penggunaan strain bibit yang baik, dan pemrosesan paska panen lebih yang baik. Indonesia sudah saatnya meningkatkan posisi dari pengekspor raw seaweed menjadi ekpsortir produk rumput laut, baik dalam bentuk makanan siap saji maupun Alkali Treated Carrageenan (ATC) dan Semi-refined Carrageenan (SRC).
ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG DAN ANCAMAN (SWOT ANALISYS) :
Kekuatan
|
Kelemahan
|
1.Harga Terjangkau
2.Kualitas terjamin
3.Kebersihan Rumput laut terjamin
|
1.Manajemen tradisional
2.Sarana dan prasarana sederhana
3.Sumberdaya manusia yang masih rendah pendidikan
4.Pemasaran yang masih terbatas
|
Peluang
|
Ancaman
|
1.Pangsa pasar yang masih luas
2.Bahan baku yang mudah di dapat
3.Pesaing besar relatip terbatas
4.Biaya produksi yang terjangkau
|
1.Munculnya pesaing baru
|
Target pasar rumput laut masih sangat terbuka dengan tingginya marjin permintaan dengan penawaran. Kemampuan produksi untuk memenuhi pangsa pasar masih sangat rendah dibandingkan dengan permintaan produk rumput laut baik skala nasional (domestik) maupun internasional (eksport). Produk yang dihasilkan adalah berupa produk yang seragam maka pencakupan pasar yang diterapkan adalah strategi pemasaran tampa pembedaan.
Sementara level pasar yang terdapat di usaha ini memiliki pasar potensial yang sangat tinggi. Target pasar (target market) bidang usaha ini meliputi sasaran yang merupakan perusahaan/pabrik industry pengolahan makanan siap saji maupun Alkali Treated Carrageenan (ATC) dan Semi-refined Carrageenan (SRC). Usaha budidaya dan pemrosesan rumput laut yang dilakukan diharapkan dapat menyuplai atau memasok kebutuhan bahan baku dari industry hilir (pengolahan) rumput laut dengan kualitas yang sesuai.
Muhammad Fahri
SMKN 1 Bima NTB
elfahry.bimami@gmail.com
Read More......