Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi
PENDAHULUAN
Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
Prinsip dari pemisahan (isolasi) adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penserapan) (Harborne, 1987).
Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketuk-ketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali elusi untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 gram ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini, diameter corong dipilih sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (Soediro, dkk.,1986).
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987).
Uji Fitokimia Senyawa
Secara umum kandungan metabolit sekunder dalam bahan alam dikelompokkan berdasarkan sifat dan reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Menurut Harbone (1973), kandungan metabolit sekunder tanaman secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Alkaloida, golongan senyawa yang mengandung nitrogen dalam bentuk gugus amina, baik primer, sekunder, tersier maupun kuartener.
b. Terpenoida/Streoida, golongan senyawa turunan asam mevalanat dengan satuan-satuan isoprena.
c. Flavonoid, golongan senyawa fenil propanoid dengan kerangka karbon C6-C3-C6.
d. Fenolik, golongan senyawa aromatik dengan substituen gugus hidroksil.
e. Saponin, golongan senyawa dalam bentuk glikosida terpenoid/streoid.
f. Kumarin, golongan senyawa fenil propanoid dengan kerangka sinamat dasar C6-C3.
g. Kuinon.
Kromatografi
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Kecepatan senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan, tergantung pada kelarutan senyawa dalam pelarut. Hal ini bergantung pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut (Harborne, 1987).
Kemampuan senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung pada besar atraksi antara senyawa dengan gel silika. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada gel silika lebih kuat dibanding senyawa lainnya karena senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya. Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan (Harborne, 1987).
Penjerapan bersifat tidak permanen, terdapat pergerakan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan gel silika dan yang kembali pada larutan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. Ketika senyawa dijerap pada gel silika -untuk sementara waktu proses penjerapan berhenti- dimana pelarut bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke atas lempengan (Harborne, 1987). Dalam hal ini, senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan menjerap lebih kuat daripada yang tergantung hanya pada interaksi van der Waals, dan karenanya bergerak lebih jauh pada lempengan.
Jika komponen-komponen dalam campuran dapat membentuk ikatan-ikatan hydrogen, terdapat perbedaan bahwa ikatan hidrogen pada tingkatan yang sama dan dapat larut dalam pelarut pada tingkatan yang sama pula. Ini tidak hanya merupakan atraksi antara senyawa dengan gel silika. Atraksi antara senyawa dan pelarut juga merupakan hal yang penting dimana hal ini akan mempengaruhi mudahnya proses senyawa ditarik pada larutan keluar dari permukaan silika. Ini memungkinkan senyawa-senyawa tidak terpisahkan dengan baik ketika membuat kromatogram. Dalam kasus itu, perubahan pelarut dapat membantu dengan baik, termasuk memungkinkan perubahan pH pelarut. Ini merupakan tingkatan uji coba, jika satu pelarut atau campuran pelarut tidak berkerja dengan baik, maka dapat mencoba dengan pelarut lainnya (Harborne, 1987).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya. Seluruh bentuk kromatografi berkerja berdasarkan prinsip ini. Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Harborne, 1987).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Roy, et. all, 1991).
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini menurut Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul Rohman (2007) adalah :
• Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
• Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorisensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
• Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
• Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai (Harborne, 1987).
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis, kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik dalam waktu singkat menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam sulfat pekat yang bersifat korosif, kelemahannya adalah harga RF yang tidak tetap (Gritten, et. al., 1991).
High Pressure Liquid Chromatography (HPLC)
High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode lainnya (Done dkk, 1974; Snyder dan Kirkland, 1979; Hamilton dan Sewell, 1982; Johnson dan Stevenson, 1978).
Informasi seperti kelarutan, gugus fungsi yang ada, besarnya berat molekul (BM) dapat diperoleh dari pembuat informasi, pemberi sampel, atau data spektroskopik seperti Nucleic Magnetic Resonance Spectrosphotometer (NMR), Infrared spectrophotometer, ultra violet spectrumeter, dan mass Spectrophotometer. Semua data-data ini dapat digunakan sebagai petunjuk bagi analis memilih tipe HPLC yang tepat untuk digunakan (Johnson dan Stevenson, 1978)
Berdasarkan Hukum Dasar "like dissolves like" maka sangat mudah untuk memutuskan tipe KCKT yang akan dipilih. Seleksi tipe KCKT, dengan cepat kita dapat melihat bahwa Berat Molekul (BM) lebih besar dari 2000, maka kita dapat menggunakan kromatografi eksklusi. Fasa geraknya adalah air jika sampelnya larut dalam air; bila dapat larut dalam pelarut organik maka digunakan pelarut- pelarut organik sebagai rasa gerak. Fasa diamnya adalah Sephadex atau Bondagel Seri E untuk rasa gerak air dan Styragel atau MicroPak TSK gel untuk rasa gerak organik. Bila BM lebih rendah dari 2000, pertama yang harus ditentukan adalah apakah sampel dapat larut dalam air. Bila sampel dapat larut dalam air, maka kromatografi partisi rasa terbalik atau kromatografi penukar ion dapat digunakan. Bila kelarutan dipengaruhi oleh penambahan asam atau basa atau bila pH larutan bervariasi lebih dari 2 (dua) satuan pH dari pH 7, maka kromatografi penukar ion adalah pilihan utama. Bila kelambatan tidak dipengaruhi oleh asam dan basa dan larutan sampel adalah netral, maka kromatografi partisi rasa terbalik adalah pilihan terbaik. Tipe Eksklusi menggunakan ukuran poros yang kecil dan rasa air dapat juga dicoba.
METODELOGI PENELITIAN
Uji Fitokimia Metabolit Sekunder
a. Pemeriksaan Falvonoid, Fenolik dan Saponin.
- Flavonoid, dalam ekstrak air (aqueous extract) ditetesi dengan larutan amoniak encer dan ditetesi asam sulfat pekat. Terbentuknya warna kuning mengindikasikan adanya flavonoid. Cara lain dengan menambahkan HCl pekat dan beberapa butir serbuk magnesium ke dalam ekstrak air. Pewarnaan oranye sampai merah mengindikasikan adanya flavonoid.
- Fenolik, ekstrak dalam tabung reaksi ditetesi larutan FeCl3. Pewarnaan biru atau biru keunguan menunjukkan positif fenolik.
- Saponin, ekstrak dalam tabung reaksi dikocok kuat, pembentukan busa permanen (sekitar 15 menit) dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes HCl pekat menunjukkan positif adanya saponin.
b. Pemeriksaan Alkaloid (Maldoni, 1991)
Penambahan larutan kloroform-amoniak 0,05 N pada ekstrak kloroform dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan H2SO4 2 N (10-20 tetes). Pemberian pereaksi Meyer (1-2 tetes) dan pereaksi Dragendorff (1-2- tetes). Uji positif alkaloid ditandai dengan adanya endapan putih yang relatif banyak (+4), kabut putih tebal (+3), kabut tipis (+2) dan kabut putih tipis (+1) untuk uji pereaksi Meyer dan pereaksi Dragendorff menunjukkan adanya endapan jingga sampai merah coklat.
c. Pemeriksaan Terpenoid/Streoid (Libermann-Burchard : AC2O/H2SO4)
Pemberian anhidrida asam asetat (AC2O) sebanyak 1-2 tetes dalam ekstrak kloroform dan sebagai pembanding menggunakan H2SO4 pekat (1-2 tetes). Perubahan warna menjadi merah atau merah keunguan mengindikasikan terpenoid dan hijau atau hijau kebiruan untuk streoid.
Uji terpenoid (Salkowski Test) dengan pemberian H2SO4 pekat pada ekstrak kloroform sehingga terbentuk 2 lapisan fasa cair. Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antar muka lapisan menunjukkan adanya terpenoid.
d. Pemeriksaan Kuinon
Kandungan kuinon dalam sampel tumbuhan biasanya ditandai dengan pewarnaan kuning, oranye atau merah. Pemeriksaan kuinon dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi sampel dengan eter. Jika warna sampel terekstraksi dalam eter maka boleh jadi zat warna yang muncul adalah kuinon. Selanjutnya jika ekstrak eter ini diekstraksi kembali dengan larutan NaOH 5% ternyata warnanya hilang dan jika ditambahkan dengan asam flourida sampai bereaksi asam ternyata warna semula kembali timbul, maka zat warna dimaksud termasuk kelompok kuinon.
d. Pemeriksaan Kumarin
Kumarin sederhana biasanya memberikan bau yang enak. Namun dalam banyak hal, karena struktur kerangka kumarin yang berbentuk lakton cincin 6, maka tidak ada reaksi warna atau pengendapan yang spesifik untuk kelompok senyawa ini. Meski demikian keberadaan kumarin dalam sampel dapat dideteksi dengan melakukan KLT ekstrak etanol/metanol, kemudian dielusi dengan pelarut yang sesuai, misalnya, etil asetat-metanol dengan perbandingan 9:1 atau 8:2. Pemeriksaan dibawah lampu UV 360 nm, flourisensi biru menandakan keberadaan kumarin. Jika bercak berflourisensi ini dikenai uap amoniak maka akan terlihat bercak warna kuning.
Isolasi Senyawa Bioaktif Flavonoid
KLT Kualitatif
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan plat silika gel F254 dengan ukuran 2 X 10 cm. Ekstrak pekat Sargassum cristaefolium ditotolkan pada plat silika dengan jarak 1 cm dari bagian bawah dengan pipa kapiler. Selanjutnya, dikeringkan dan dielusi dalam larutan eluen yang dipersiapkan sesuai dengan tujuan senyawa apa yang akan diisolasi. Larutan eluen ditempatkan pada bejana kaca dengan bagian tutup yang lebar. Selama perendaman bejana ditutup agar media jenuh dengan larutan eluen.
Ekstrak akan ditarik ke atas oleh eluen sampai jarak 1 cm dari bagian atas plat. Plat selanjutnya dikeringkan. Pengamatan warna yang muncul dibawah penyinaran sinar ultra violet dengan panjang gelombang 256-366 nm. Plat disemprot dengan dengan pelarut dari campuran vanili 0,25 ml dan etanol 25 ml kemudian disemprotkan dengan H2SO4 bertujuan untuk memperkuat penampakan warna yang muncul pada plat. Untuk mengetahui nilai RF dengan mengukur jarak antara titik awal dengan pusat bercak yang dihasilkan senyawa dan jarak ini kemudian dibagi dengan jarak antara titik awal dan garis depan (jarak yang ditempuh oleh cairan pengembang). Eluen yang memberikan hasil terbaik akan digunakan dalam pemisahan dengan KLT preparatif.
KLT Preparatif
Pemisahan dengan KLT preparatif menggunakan plat silika gel F254 dengan ukuran 10 X 20 cm. Ekstrak pekat hasil ekstraksi ditotolkan sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah dan 1 cm dari garis tepi. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen yang memberikan hasil pemisahan terbaik pada KLT kualitatif. Noda yang diperoleh dikerok dan dilarutkan dengan metanol. Kemudian disentrifuge untuk mengendapkan silikanya. Supernatan yang diperoleh dipekatkan sehingga diperoleh isolat berdasarkan harga RF-nya.
Analisa HPLC
Uji HPLC kualitatif dilakukan untuk mengetahui komposisi kandungan senyawa yang terkandung dalam ekstrak Sargassum cristaefolium. Untuk memastikan kemurnian dari isolat maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode HPLC analitik dengan komposisi gradien (eluen) metanol-air ada kolom fase terbalik (reversed phase) C-18 (RP-18) dan detektor Photo Dioda Array untuk merunut keberadaan senyawa utama. Kemudian dilakukan isolasi senyawa utama dengan HPLC preparatif, Pada penggunaan HPLC preparatif, dibuat gradien seoptimal dan sesingkat mungkin dengan cara mengubah atau mengganti konsentrasi eluen. Selanjutnya, setelah didapatkan senyawa utama, dilakukan penentuan struktur dengan metode spektroskopis.
Identifikasi Senyawa Bioaktif Flavonoid
Spektrofotometri UV-vis
Isolat hasil KLT dimasukkan ke dalam kuvet dan diamati spektrumnya pada panjang gelombang 200-600 nm. Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M. AICl3 5 %, NaOAc, H3BO3, kemudian diamati pergeseran puncak serapannya.
Tahapan prosedur penggunaan pereaksi geser sebagai berikut :
1. Isolat yang diduga sebagai senyawa utama diamati pada panjang gelombang 200-600 nm, direkam dan dicatat hasilnya.
2. Isolat dari tahap 1 ditambahkan 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok sehingga homogen dan diamati hasilnya.
3. Isolat tahap 1 ditambahkan 6 tetes pereaksi AICl3 5 % dalam metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati hasilnya.
4. Isolat tahap 1 ditambahkan serbuk NaOAc kira-kira 250 mg, campuran dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya, selanjutnya ditambahkan serbuk H3BO3 kira-kira 150 mg dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya.
Spektrometri Infrared
Isolat hasil KLT preparatif yang menunjukkan adanya senyawa utama berdasarkan identifikasi dengan spetrofotometri UV-vis diuapkan pelarutnya. Isolat pekat diteteskan pada pelet KBr, dikeringkan kemudian dibuat spektrumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Senyawa Flavonoid
Uji Golongan Senyawa
Uji golongan dilakukan terhadap ekstrak metanol sebagai langkah awal untuk mengetahui kandungan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak metanol. Hasil uji golongan mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Uji golongan yang dilakukan pada ekstrak pekat kloroform, aseton, dan metanol dari S. cristaefolium dengan pereaksi bahan kimia, sebagai berikut :
a. Uji H2SO4
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4, terjadi perubahan warna menjadi oranye atau kuning tua. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak metanol terdapat senyawa flavon atau flavonoid.
Ekstrak aseton, diberi metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4, tidak terjadi perubahan warna sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak aseton tidak terdapat senyawa flavon.
b. Uji Meyer
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml diberi pereaksi Mayer, terdapat sedikit endapan putih. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kandungan alkaloid dalam ekstrak metanol.
Ekstrak aseton, diberi metanol sebanyak 2 ml, diberi pereaksi Mayer, tidak terdapat endapan sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat senyawa alkaloid dalam ekstrak aseton.
Ekstrak kloroform, diberi metanol sebanyak 2 ml, diberi pereaksi Mayer, terdapat endapan berwarna putih. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat senyawa alkaloid dalam ekstrak kloroform
c. Uji Dragendorff
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan larutan Dragendorff, terdapat endapan berwarna oranye. Hal ini menunjukkan adanya kandungan alkaloid pada ekstrak metanol.
Ekstrak aseton sebanyak 2 ml, diperlakukan sama seperti pada ekstrak metanol, tidak terdapat endapan apapun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat senyawa alkaloid pada ekstrak aseton.
Ekstrak kloroform sebanyak 2 ml, diperlakukan sama seperti pada ekstrak metanol dan aseton, terdapat endapan berwarna oranye. Hal ini menunjukkan bahwa adanya senyawa alkaloid pada ekstrak kloroform.
d. Uji Salkowski
Ekstrak metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan kloroform menunjukkan adanya endapan warna merah dan oranye. Hal ini mengindikasikan adanya senyawa terpenoid atau steroid.
Ekstrak aseton sebanyak 2 ml, ditetesi metanol, H2SO4 dan kloroform tidak ada endapan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak aseton tidak mengandung senyawa terpenoid ataupun steroid.
Ekstrak kloroform, diberi metanol sebanyak 2 ml, ditetesi H2SO4 dan kloroform terjadi endapan berwarna merah dan oranye. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam ekstrak kloroform terdapat senyawa terpenoid atau steroid.
Uji golongan fitokimia senyawa dari ekstrak kasar S. cristaefolium sebagai uji pendahuluan dan panduan dasar keberadaan senyawa bioaktif flavonoid dalam rangka isolasi. Dari berbagai uji fitokimia terhadap ekstrak kasar masing-masing pelarut dapat dilihat bahwa unktuk ekstrak kloroform mengandung senyawa flavonoid, alkaloid dan terpenoid serta streoid. Ekstrak aseton tidak terbentuk endapan dari pereaksi pendeteksi yang dilakukan sehingga tidak mengindikasikan keberadaan senyawa yang dituju. Ekstrak methanol diduga memiliki kandungan flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid berdasarkan reaksi senyawa terhadap pereaksi pendeteksi yang diujikan. Secara ringkas, hasil uji golongan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut :
Tabel 5.3. Hasil Uji Golongan Senyawa Ekstrak Kasar S. cristaefolium
Hasil uji golongan (fitokimia) yang dilakukan, menunjukkan bahwa senyawa kimia berupa senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak S. cristaefolium mengandung senyawa flavonoid. Harbone (1987) menjelaskan bahwa pada uji fitokimia terhadap senyawa golongan flavonoid akan menunjukkan hasil positif dengan terjadinya perubahan warna berupa warna kuning. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan warna yang ditunjukkan pada Gambar 5.4 yaitu warna kuning.
Gambar 5.4. Hasil uji fitokimia flavonoid ekstrak metanol S. cristaefolium.
Kromatografi Lapis Tipis
Berdasarkan hasil uji toksisitas dengan A. salina (uji pre-skrining) diketahui bahwa ekstrak metanol merupakan ekstrak yang mempuyai aktifitas yang sangat aktif (sangat toksik) dengan nilai LC50 sebesar 3,02 ppm. Pada uji golongan ekstrak metanol juga mengandung beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid. Pelarut metanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Pelarut polar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam terutama senyawa fenol dan flavonoid. (Harbone, 1987).
Dengan demikian, uji tahap lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak yang aktif dilakukan pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium. Ekstrak metanol dilanjutkan ke tahap pemisahan dan pemurnian selanjutnya dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif dan preparatif.
Analisa pemisahan senyawa dari ekstrak metanol dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif menggunakan beberapa eluen. Markham (1988), bahwa eluen yang digunakan untuk memisahkan komponen dari bahan alam yang diduga mengandung senyawa flavonoid adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan komposisi (4:1:5), dan metanol : kloroform (7:3). Penggunaan berbagai macam komposisi dan eluen ini dimaksudkan mampu untuk memisahkan senyawa flavonoid yang terkandung dalam S. cristaefolium. Hasil KLT kualitatif berupa pola pemisahan pada kromatogram dari berbagai eluen yang digunakan. Berdasarkan pola kromatogram yang terbentuk pada plat silika gel dapat ditentukan resolusi senyawa flavonoid dan jenis flavonoid yang terdapat dalam ekstrak.
Eluen yang digunakan pada KLT kualitatif ini adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan komposisi (4:1:5), metanol : kloroform (7:3), asam asetat : benzene (2:8), etil asetat : n-heksan (7:5) dan toluen : eter : asam asetat (10:10:2). Hasil KLT kualitatif dengan beberapa eluen tersebut disajikan dalam Table 5.4.
Tabel 5.4. Hasil KLT kualitatif beberapa eluen dari ekstrak metanol S. cristaefolium.
Hasil pemisahan secara KLT kualitatif menunjukkan bahwa eluen yang memberikan hasil terbaik adalah toluen : eter : asam asetat (10:10:2) mampu memberikan resolusi terbaik, terlihat dari terbentuknya noda yang terpisah dan jumlah noda yang paling banyak yaitu 9 noda. Campuran eluen lain yang menghasilkan noda adalah etil asetat : n-heksan (7:5) tetapi tidak mampu memisah dengan baik noda yang masih berhimpitan dan jumlah noda hanya 3 noda. Sedangkan eluen lainnya tidak dapat memisahkan senyawa yang terlihat dari gerak senyawa yang membentuk garis lurus. Dengan demikian, eluen terbaik yang digunakan dalam pemisahan senyawa flavonoid pada analisa Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif adalah eluen campuran toluen : eter : asam asetat (10:10:2).
Hasil pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif hampir sama dengan KLT kualitatif hanya berbeda pada kuantitas ekstrak lebih banyak yang digunakan. Penggunaan plat silika gel dengan ukuran yang besar dan lebih banyak. Noda-noda yang dihasilkan pada KLT preparatif ditandai selanjutnya dikerok dan dilarutkan pada pelarut metanol. Isolat yang diperoleh tersebut kemudian diidentifikasi dengan spektrofotometri UV-visual dan Inframerah (FT-IR).
Gambar 5.5. Kromatogram hasil KLT preparatif ekstrak metanol S. cristaefolium.
Keterangan :
fase gerak : toluen : eter : asam asetat (10:10:2)
fase diam : plat silika gel GF254
sinar UV : 366 nm
HPLC
Data hasil analisa HPLC kualitatif terhadap ekstrak metanol S. cristaefolium menunjukkan bahwa puncak utama senyawa yang terdapat dalam ekstrak metanol berada pada puncak kedua dengan waktu retensi (waktu hambat/tambat) 20.03 menit serta area persentase senyawa sebesar 38.505 %. Puncak ini pada KLT kualitatif mempunyai nilai Rf 0.88 cm dan menunjukkan warna oranye keungunan menyala pada sinar UV 366 nm. Sedangkan puncak yang juga menunjukkan warna oranye menyala pada sinar UV 366 nm hasil KLT kualitatif dengan nilai Rf 0.77 ditunjukkan oleh puncak keempat pada hasil HPLC dengan waktu retensinya 29.92 menit dan area persentase senyawa sebesar 7.757 %.
Hasil analisa HPLC kualitatif terhadap ekstrak metanol S. cristaefolium disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 5.6 sebagai berikut.
Gambar 5.6. Hasil HPLC ekstrak metanol S. cristaefolium.
Identifikasi Senyawa Flavonoid
Identifikasi Pendahuluan
Identifikasi pendahuluan terhadap warna kromatogram pada plat silika gel hasil KLT kualitatif berdasarkan penampakan warna kromatogram yang terbentuk. Penampakan warna diamati dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm baik sebelum maupun sesudah disemprot dengan pelarut berflourenses (larutan vanila 5% dalam etanol dan H2SO4). Warna kromatogram dari masing-masing noda yang terbentuk hasil KLT kualitatif disajikan dalam Tabel 5.5.
Berdasarkan Tabel 5.5 tersebut, penampakan warna kromatogram noda 1 dengan Rf 0,94 cm adalah hijau muda. Pada sinar UV 254 dan 366 nm tampak berwarna coklat muda sebelum disemprot dengan pelarut berflourensens (vanila 5 % dalam etanol). Setelah disemprot tidak tampak pada sinar UV 254 nm dan berwarna coklat pada sinar UV 366 nm. Noda 2 dengan Rf 0,88 cm tampak hijau kebiruan, pada sinar UV 254 nm sebelum disemprot tampak coklat muda dan tampak oranye pada sinar UV 366 nm. Setelah penyemprotan kromatogram tampak biru muda pada sinar UV 254 nm dan oranye terang (menyala) pada sinar UV 366 nm. Noda 3 Rf 0,83 tidak tampak, pada sinar UV 254 nm juga tidak terlihat tetapi tampak warna putih pada sinar UV 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tidak tampak pada UV 254 nm dan terlihat coklat muda pada UV 366 nm.
Tabel 5.5. Harga RF dan warna noda kromatogram hasil KLT kualitatif dengan eluen toluen : eter : asam asetat (10:10:2).
Noda 4 dengan Rf 0,77 cm berwarna hijau kekuningan. Sebelum disemprot tidak tampak pada UV 254 nm dan terlihat coklat oranye pada UV 366 nm. Pada sinar UV 254 nm setelah disemprot tampak biru muda dan oranye keunguan pada sinar Uv 366 nm. Noda 5 Rf 0,72 cm warna hijau biru, sebelum disemprot tampak coklat muda pada UV 254 nm dan ungu muda pada UV 366 nm. Setelah disemprot tidak tampak pada UV 254 dan 366 nm. Noda 6 Rf 0,66 cm berwarna coklat muda, coklat muda pada UV 254 dan coklat pada 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tampak coklat pada Uv 254 nm dan ungu muda pada 366 nm. Warna ungu muda pada noda 7 Rf 0,61 cm, tetapi tidak tampak pada UV 254 nm dan coklat muda pada UV 366 nm sebelum disemprotkan. Warna ungu muda pada 366 nm dan tidak tampak pada UV 254 nm setelah disemprot. Noda 8 Rf 0,55 cm terlihat oranye kekuningan, pada UV 254 nm coklat muda dan coklat gelap pada 366 nm sebelum disemprot. Setelah disemprot tampak biru pada UV 254 dan 366 nm. Noda terakhir 9 Rf 0,44 cm tampak hijau kekuningan, namun tampak coklat kebiruan pada UV 254 nm dan coklat pada UV 366 nm. Seteah disemprot terlihat coklat kebiruan pada UV 254 nm dan coklat pada UV 366 nm.
Dari 9 noda tersebut, noda ke 2 dan ke 4 memperlihatkan warna oranye terang keunguan (lembayung) pada UV 366 nm setelah disemprot maka dapat diduga pada kedua noda tersebut ada senyawa flavonoid golongan flavon, isoflavon, flavonol, dihidroflavonol atau flavanon (Markham, 1998).
Kedua noda senyawa ini (2 dan 4) dilakukan isolasi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif karena warna oranye menyala pada gelombang UV 366 nm setelah disemprot dengan larutan berflourensens vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4 pekat mengindikasikan keberadaan kandungan senyawa flavonoid. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Markham (1988), vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4 pekat perbandingan 4:1 akan menimbulkan bercak merah atau merah lembayung segera setelah penyemprotan dan pemanasan (dengan pengering rambut) oleh katekin dan proantosiniadin. Bila bercak terbentuk lebih lambat disebabkan oleh flavanon dan dihidroflavonol. Pereaksi bereaksi dengan semua flavonoid yang mempunyai pola oksidasi lingkar-A floroglusinol dan lingkar-C jenuh. Senyawa yang demikian seringkali tidak tampak pada kromatografi bila disinari dengan sinar UV.
Spektrofotometri Ultra Violet Cahaya Tampak (UV-vis)
Identifikasi senyawa flavonoid dengan spektrofotometri UV-visual ini berdasarkan pada serapan cahaya oleh molekul dalam daerah ultraviolet dan tampak tergantung dari transisi elektroniknya. Markham (1988), Spektrofotometri serapan Ultra Violet dan serapan Tampak (UV-vis) barangkali merupakan cara tunggal yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. Analisis dengan spektrofotometri UV-vis berguna dalam mengidentifkasi jenis golongan senyawa flavonoid dan menentukan pola oksigenasinya. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambah pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati puncak serapan yang terjadi.
Flavonoid merupakan satu dari banyak senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan yang biasa ditemukan pada bagian akar, batang, kulit dan daun serta biji tumbuhan. Senyawa flavonoid mengandung cincin aromatik yang tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar tersusun dalam konjungasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik dihubungkan dengan atom karbon). Pita spektrumnya dapat terserap kuat pada panjang gelombang UV disebabkan oleh keberadaan dari cincin aromatik tersebut. Profil pita yang memberikan spektrum UV khas flavonoid dapat diidentifikasi lebih lanjut dengan pereaksi geser. Pereaksi geser ini untuk menentukan kedudukan gula dan gugus hidroksil fenol pada inti flavonoid dengan cara mengamati pergeseran puncak (peak) serapan yang terjadi.
Pereaksi geser yang digunakan adalah NaOH, AlCl3, NaOAc, dan campuran NaOAc dan H3BO3. Identifikasi dan analisa struktur flavonoid dengan spektrum UV dilakukan terhadap isolat noda oranye yaitu noda 2 dan 4.
Menurut Markham (1988) dan Mabry (1970), spektrum khas flavonoid terdiri dari dua pita yaitu pada rentang panjang gelombang 240-295 nm (pita II) dan 300-350 nm (pita I). Lebih lanjut, menurut Markham (1988), sistem hidroksilasi pada flavon ditunjukkan dengan pemunculan puncak yang kadang-kadang berupa bahu pada spektrum pita I.
Spektrum UV-vis isolat ekstrak metanol S. cristaefolium yang disolasi disajikan dalam Gambar 5.7 dan 5.8.
Dari spektrum UV-vis setelah penambahan pereaksi geser NaOH, AlCl3, NaOAc, dan campuran NaOAc dan H3BO3 terhadap isolat memberikan pola pergeseran yang berbeda-beda. Hasil pergeseran spektrum UV dari isolat noda 2 dan 4 dengan adanya pereaksi geser disajikan dalam Lampiran 7 dan Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Pergeseran rentang panjang gelombang puncak spektrum UV-vis Isolat 4 dengan adanya pereaksi geser.
Pola hidroksilasi dan derajat penyulihan pada flavon dan flavonol mengakibatkan adanya sistem ’3, ’4-di OH umumnya dapat dibuktikan dengan adanya puncak kedua dalam pita II (kadang-kadang berupa bahu). Berdasarkan Markham (1988) dapat diamati bahwa pola grafik hidroksilasi isolat noda 4 yang diisolasi tersebut mengarah pada flavanon (naringenin) atau dihidroflavonol. Hal ini secara jelas dapat diamati dari adanya pola dua puncak utama dari isolat noda ke 4 ini. Rentang serapan spektrum utama UV-visual flavonoid untuk flavanon dan dihidroflavonol berada ada 275-295 nm pada pita II. Rentang serapan spektrum utama UV-visual flavonoid ini sesuai dengan spektrum yang muncul pada serapan pita II isolat noda 4 yaitu 280 nm.
Melihat perubahan spektrum dengan pereaksi geser pada isolat noda ke 4 dengan Rf 0,77 cm (Tabel 8) dengan didukung oleh pustaka (Markham, 1998; Mabry, 1970) maka dapat dijelaskan bahwa dengan adanya pereaksi geser NaOH terjadi pergeseran pita II sebesar 5 nm ke kanan mengarah pada substitusi posisi 7-OH. Penambahan pereksi geser AICl3 tidak terjadi pergeseran pada pita I (tetap) mengarah pada substitusi posisi 5-OH. Penambahan pereaksi geser NaOAc (asam asetat) menurunkan kekuatan pita II yang mengarah pada substitusi posisi 6,7atau 7,8 atau 3, 4’-di OH (gugus yang peka terhadap basa). Pada pita I dengan pereaksi geser AICl3 ini mengalami pergeseran sebesar 7 nm mengarah ada 7-OH. Sedangkan penambahan NaOAc dan H3BO3 (asam borat) terjadi pergeseran pita I ke kanan sebesar 8 nm yang mengarah pada substitusi o-di OH pada cincin A (6,7). Pergeseran 8 nm ini hanya menambah 1 nm dari pergeseran oleh NaOAc yang berarti tidak signifikan atau tetap (tidak ada pergeseran). Hal ini membuktikan bahwa pada cincin B terjadi proses metilasi atau glikolisasi yang menghambat hidrolisis (ionisasi). Dengan demikian diduga bahwa isolat yang diisolasi adalah senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol yakni 5,6,7-dihidroflavonol.
Markham (1982), lebih jauh memaparkan bahwa spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasinya yang setara (5,7,4’) adalah kekuatan nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol dan isoflavon serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.
Proses metilasi atau glikosilasi (terutama pada 3,5,7 dan 4’-hidroksil) mengakibatkan pergeseran pita ke panjang gelombang yang lebih rendah. Sifat gula pada glikosida biasanya tidak berpengaruh. Proses metilasi terdeteksi dari pereaksi geser NaOAc yang tidak mengakibatkan pergeseran pita serapan panjang gelombang pada cincin B diduga disebabkan oleh keberadaan CH3 bukan oleh gula. Ini diperkuat dengan data Infrared (IR) dimana muncul peak serapan pada panjang gelombang 1347,19 cm-1 dimana pada daerah ini merupakan daerah serapan khas gugus-gugus metil pada alkohol dan fenol.
Pergeseran ke panjang gelombang yang lebih kecil pada pita II dengan NaOAc menunjukkan bahwa pada posisi 7 terjadi metilasi atau glikolisasi. Pergeseran panjang gelombang 10 nm pada pita I dengan AICl3 disebabkan karena mengandung gugus hidroksil pada posisi 5. Pergeseran ke arah batokromik mengakibatkan perpanjangan delokalisasi elektron oleh senyawa kompleks. Adanya gugus 5-OH didukung oleh adanya serapan yang muncul pada daerah 1639,38 cm-1 pada spektrum IR yang merupakan serapan khas flavonol dengan adanya gugus 5-OH (Geissman, 1969).
Berdasarkan data analisa spektrum UV-vis dan spektrum inframerah maka noda ke 4 (empat) diduga merupakan senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol, dengan struktur sebagai berikut :
Untuk isolat noda ke 2 yang diisolasi dengan melihat serapan panjang gelombang dari adanya pereaksi geser menunjukkan serapan panjang gelombang berada diluar rentang panjang gelombang dari spektrum khas flavonoid (240-295 nm pita II dan 300-350 nm pita I) yaitu sebesar 610-660 nm pada pita I dan 408 nm pada pita II. Ini dapat diduga bahwa isolat noda ke 2 dengan Rf 0,88 cm bukan senyawa flavonoid yang menjadi senyawa target.
Spektroskopis Infrared (FT-IR)
Analisis spektrofotometri inframerah (Fourier Transform Infrared, FT-IR) bertujuan untuk menentukan gugus fungsional suatu senyawa berdasarkan serapan spektrum elektromagnetik pada daerah IR. Hasil analisis spektrum IR menunjukkan bahwa isolat yang diisolasi mengandung gugus-gugus fungsional dengan perkiraan gugus fungsional seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.10 dan Tabel 5.7.
Pita lebar kuat pada puncak 3445,59 cm-1 menunjukkan adanya gugus –OH, puncak 2973,07 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-H asimetris dan vibrasi ulur simetris terdapat pada puncak 2866,02 cm-1, yang diperkuat dengan adanya vibrasi tekuk =C-H pada 1457,12 cm-1 dan 1347,19 cm-1. Hal ini sesuai dengan Silverstein et al, (1986), bahwa gugus-gugus metil pada alkohol dan fenol biasanya memiliki getaran tekuk simetrik (δsCH3) didekat 1375 cm-1 (7,28 µm), sedangkan getaran tekuk tak-simetrik (δαsCH3) di dekat 1450 cm-1 (6,90 µm). Pita-pita khas yang teramati dalam spektrum alkohol dan fenol dihasilkan oleh uluran (vibrasi) O-H dan uluran C-O. (Silverstein, et. al., 1986).
Vibrasi ulur C=O karbonil ditunjukkan pada puncak 1639,38 cm-1 menunjukkan adanya pita kerangka C=C yang diperkuat adanya vibrasi ulur C-O eter (jembatan O) pada puncak 1054,99 cm-1. Sedangkan daerah serapan pada puncak 800 cm-1 kebawah menunjukkan tekuk C-H keluar bidang yang berarti adanya benzena tersubstitusi (substitusi cincin aromatik).
Dari analisis hasil spektroskopis infrared tersebut menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi kemungkinan mempunyai gugus fungsi –OH, C-H, C=O, C-O, =C-H dan C-C (cincin benzena).
Berdasarkan interpretasi data yang diperoleh dari analisa spektrum UV-vis dan spektrum inframerah (IR) maka dapat disimpulkan bahwa isolat noda ke 4 (empat) dari ekstrak metanol S. cristaefolium yang diisolasi diduga merupakan senyawa flavonoid golongan dihidroflavonol, dengan struktur sebagai berikut :
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dan uji toksisitas ekstrak metanol alga coklat S. cristaefolium maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil skrining fitokimia (uji golongan) senyawa ekstrak metanol S. cristaefolium mengandung beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid.
2. Hasil analisis dengan spektroskopi UV-visual dan spektroskopi infrared (IR) diduga golongan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak metanol S. cristaefolium adalah senyawa 5,6,7,-dihidroflavonol yang diperoleh dari isolat noda ke 4 pada KLT kualitatif dengan nilai Rf 0,77 cm.
Saran
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut dengan melakukan analisa yang lebih lengkap terhadap ekstrak S. cristaefolium meliputi 1H-NMR, LCMS, 13C-NMR untuk dapat menduga struktur senyawa secara lebih tepat terhadap senyawa yang telah diisolasi.
PUSTAKA
Anderson DP. 1974. Fish Immunologi. TFH Publication Ltd Hongkong. 239 p.
Anonymous, 2004. Buku Petunjuk Rumput Laut Ditjen P. Budidaya. Dinas Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor . (Khurniasari, 2004).
Boney, A. D. 1965. Aspect of the biology of the seaweeds of economic importance. In : Basic in Mar. Bot. 3 : 205 – 253.
BOYD, J. & TURVEY, J.R. (1978). Structural studies of alginic acid using a bacterial poly-a-L-guluronate lyase. Carbohydr. Res., 66: 187 – 194.
Cabbalo, J.L., Hernandez-Inda, Z.L., Perez, P., Gravalos, M.D. 2002. A Comparison between two brine shrimp assy to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product (methodology article). BMC Biotechnology. 2:1-5.
Calleja M.C, Persoone G, 1992. Cyst based toxicity test IV, The potential of ecotoxicological test for the prediction of acute toxicity in man as evaluated on the first ten chemicals of the MEIC programme, ATLA-Altern Lab Animals, 20:396-405.
Cutler, SJ., H. Cutler. Biologically Active Natural Products: Pharmaceuticals. CRC Press LLC. Boca Raton. USA 2000;1-13, 17-22, 73-92.
Gritten, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarling, "Pengantar Kromatografi", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1991, 5-9.
Harborne, JB., 1973, Phytochemical Methods: Chapman and Hall, Ltd., London, pp. 49-188
Harborne, JB., et.al., Phytochemical Dictionary: A Handbook of Bioactive Compounds from Plants, 2nd ed., Taylor & Francis Ltd., London., 1999;396, 487, 494.
Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
J.B. Harborne, Metode Fitokimia, Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan, (Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), Penerbit ITB, Bandung, 1987
Jadulco, R.C. 2002, Isolation and Structure Elucidation of Bioactive Secondary Metabolites from Marine sponges and Sponges-derived Fungi. Dissertation of Doktorgrades, University of Wuerzburg. 176p.
Ledenberg, J., 1992. Encylopedi of Microbiology, Volume Academic Press Inc, Rockefller University, New York
Markham. K.R., "Cara Mengindentifikasi Flavonoid", terjemahan K. Radmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1988, 1-117. 10.
Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobson, L. B., Nichols, D. E., and McLaughlin, J. L. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica, 45: 31-34.
Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004, Biochemical Studies Of Some Seaweed Species From Karachi Coast, Zoological Survey Department, Government of Pakistan, Karachi (PA); Department of Biochemistry, University of Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4 (2002)
Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004, Biochemical Studies Of Some Seaweed Species From Karachi Coast, Zoological Survey Department, Government of Pakistan, Karachi (PA); Department of Biochemistry, University of Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4 (2002)
Perez, H., Diaz, F., and Medina, J. D. 1997. Chemical investigation and in vitro antimalarial activity of Tabebuia ochracea ssp. neochrysantha. International Journal of Pharmacog, 35: 227-231.
Rao,-A.S.; Rao,-M.U. 2002. Seasonal growth pattern in Sargassum polycystum C. Agardh (Phaeophyta, Fucales) occurring at Visakhapatnam, east coast of India. Indian Journal of Marine Sciences [Indian-J-Mar-Sci]. vol. 31, no. 1, pp. 26-32.
Robert, M. Silverstein, G. Clayton Bassler, Terence C. Morril. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Penerbit Erlangga. Jakartan (Terjemahan A. J. Hartomo dkk).
Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida, Alkaloida. USU Repository
Stahl, E., "Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1985, 3-18. 15.
Tetsuro Ajisaka, 2006, Problems in the identification of “Sargassum duplcatum” Group, Coastal Marine Science 30(1): 174-178. Kyoto University, Japan.
Wiryowidagdo, Sumali. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. Dirjen Dikti–Universitas Indonesia. Jakarta 2000; viii + 339 hlm.
5 komentar:
saya mau bertanya, pada uji alkaloid oleh pereaksi Mayer,
apa pengaruh perbedaan pelarut yang digunakan terhadap hasil uji alkaloid?
berdasarkan percobaan yang Anda lakukan, pelarut yang digunakan adalah metanol, aseton dan kloroform, ketiga pelarut ini memberikan hasil yang berbeda..
terima kasih sebelumnya.
saya perlu menguji bioavailibilitas polifenol kakao dan memerlukan instrument HPLC photodiode array. Mohon informasi dimana kiranya bisa menggunakan fasilitas tersebut di wilayah surabaya.
Terima kasih
trimaksih share informasinya saya juga sedang kuliah S1 di brawijaya jg...kebetulan lagi praktikum antioksidan dari sargassum jg
Pak, terima kasih atas artikelnya, benar2 membantu di saat saya mencari rujukan di pagi buta...langsung ketemu.
tapi Pak, tentang penampak noda vanili 1% dan asam sulfat 5% tu sumbernya dari buku apa Pak??Harborne, atau markham??judul bukunya apa Pak??
karna di buku Markham yang disebutkan adalah vanili 5% dan HCl pekat...
terima kasih.
Pak d.atas tabel gugus fungsionalnya tidak ada boleh saya tau sumber nya. Saya sedang penelitian sargassum cristaefolium tentang kadar pigmenya. dan masih bingung mengenai gugus fungsi.
Tolong bantuannya. Terimakasih
Posting Komentar
Komentar Anda :