Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test)
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis senyawa antikanker. Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat (Meyer, 1982).
Carballo et al. (2002) meneliti kelayakan penggunaan metode BSLT untuk pengujian aktivitas farmakologi produk bahan alam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara BSLT dan uji sitotoksik (50 % spesies yang aktif dalam BSLT juga aktif dalam uji sitotoksik). Menurut Mc Laughlin & Thompson (1998) dalam Widiastuti, (2004), nilai LC50 untuk sitotoksik umumnya adalah sepersepuluh nilai LC50 yang diperoleh dari BSLT.
Artemia salina Leach merupakan komponen dari invertebrata dari fauna pada ekosistem perairan laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja dan Persoone, 1992).
Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-telur itu sudah menetas menjadi larva Artemia yang dinamakan nauplius (Mujiman, 1995). Tahapan proses penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Untuk mengetahui tahap penetasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Tahapan penetasan Artemia salina Leach (Mujiman, 1995).
Pengujian Letalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari cytotoxic (Siqueira, et. al., 1998), antimalaria (Perez, et.al., 1997), insektisida (Oberlies, et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, et.al., 1993) campuran dari ektrak tumbuhan. Hasil dari skrining dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari beberapa tumbuhan obat penting yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk letalitas merujuk pada larva Artemia salina yang diujikan.
Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa dan semakin berpotensi sebagai senyawa antitumor.
METODELOGI PENELITIAN
Rancangan Uji Toksisitas
Uji toksisitas ekstrak senyawa menggunakan hewan uji larva A. salina L umur 48-72 jam setelah penetasan telur untuk mengetahui daya toksisitas ekstrak senyawa dalam menyebabkan kematian pada hewan uji. Uji toksisitas untuk mendapatkan nilai Lethal Concentration 50 (LC50) dari senyawa tersebut. Ekstrak yang bersifat toksik dengan diketahui dari nilai LC50 pada uji toksisitas.. Media kultur penetasan larva A. salina L menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500 ml dengan perlengkapan aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut buatan dengan melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm.
Uji toksisitas menggunakan rancangan eksperimental dengan perlakuan perbedaan konsentrasi ekstrak S. cristaefolium terhadap kematian larva Artemia salina L. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0 μg/ml (kontrol), 6,25 μg/ml, 12,5 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 100 μg/ml dan masing-masing perlakuan dibuat ulangan 5 kali. Penempatan perlakuan dilakukan secara acak. Parameter yang digunakan adalah jumlah Artemia salina L yang mati dari total larva hewan uji. Kemudian dihitung nilai LC50 dengan menggunakan analisa probit (50% kematian larva hewan uji).
Prosedur Uji Toksisitas Ekstrak Metode BSLT
Wadah penetasan A. salina L menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500 ml yang dimodifikasi dengan perlengkapan aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut buatan dengan melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm. Salinitas ini sesuai dengan salinitas habitat hidup alami dari A. salina L. Media penetasan ini ditempatkan dengan pencahayaan yang cukup.
Sebanyak 1 gram kista A. salina L dimasukan dalam media 1500 ml air laut buatan dengan pemberian aerasi yang cukup. Suhu penetasan adalah ± 25-300C dan pH ± 6-7. Telur akan menetas setelah 18-24 jam dan larvanya disebut nauplii. Nauplii siap untuk uji BSLT setelah larva ini berumur 48 jam (Subyakto, 2003).
Botol vial disiapkan untuk pengujian, masing-masing sampel dibuat 5 konsentrasi berbeda yaitu 6,25 μg/mL, 12,5 μg/mL, 25 μg/mL, 50 μg/mL, dan 100 μg/mL dan masing-masing dengan kontrol (0 μg/mL). Ekstrak pekat kloroform, aseton dan metanol ditimbang sebanyak 50 mg dan dilarutkan dengan menggunakan 5 ml pelarutnya masing-masing. Selanjutnya, larutan dipipet masing-masing sebanyak 500 μL, 250 μL, 125 μL, 62,5 μL, dan 31,25 μL, kemudian dimasukkan ke dalam botol vial, pelarutnya diuapkan selama 24 jam. Masing-masing vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai emulsigator, 10 ekor larva udang dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5 mL, sehingga konsentrasi masing-masing menjadi 100, 50, 25, 12,5 dan 6,25 ppm.
Untuk kontrol, ke dalam botol vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida, 10 ekor larva A. salina L dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5 mL. Pengamatan Uji Toksisitas ini untuk mengetahui nilai Lethal Concentration 50 (LC50) dengan menghitung jumlah larva A. salina yang mati setelah perlakuan dengan pemberian ekstrak senyawa dengan konsentrasi berbeda dari S. cristaefolium setelah 24 jam dari perlakuan. Secara singkat prosedur uji BSLT penentuan LC50 ditampilkan dalam Lampiran 2.
Analisis Hasil Uji Toksisitas
Efek toksisitas dianalisis dari pengamatan dengan persen kematian dengan rumus perhitungan sebagai berikut ini :
Dengan mengetahui kematian larva A. salina, kemudian dicari angka probit melalui tabel dan dibuat persamaan garis :
Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50 dengan memasukkan nilai probit (50 % kematian). Apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka % kematian ditentukan dengan rumus Abbot (Meyer et al., 1982).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Toksisitas Metode BSLT
Hasil pengamatan mortalitas A. salina dalam uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) setelah 24 jam pada ekstrak kasar S. cristaefolium yang larut dalam kloroform, aseton dan metanol disajikan dalam lampiran 3. Dari data hasil pengamatan tersebut diperoleh persentase mortalitas hewan uji dari masing-masing konsentrasi ekstrak yang diujikan. Berdasarkan data tersebut dilakukan perhitungan dan analisa probit dengan program SPSS13 untuk mencari nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yang diujikan.
A. salina L mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja and Persoone, 1992).
Hasil perhitungan analisa probit ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S. cristaefolium disajikan pada Tabel 5.2 sebagai berikut :
Tabel 5.2. Hasil perhitungan uji BSLT ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S. cristaefolium
Persentase mortalitas hewan uji larva A. salina pada ekstrak kloroform berkisar antara 72-82 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 72 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 70 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 80 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 82 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 80 %.
Dari data persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak kloroform tersebut, dapat dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi (dosis) ekstrak yang larut dalam kloroform seperti pada grafik Gambar 5.1 berikut ini.
Gambar 5.1. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak kloroform dari S cristaefolium.
Grafik diatas menujukkan bahwa konsentrasi dosis ekstrak kloroform pada 6,25 ppm dimana mortalitas mencapai 72 persen. Pada konsentrasi dosis 12,5 ppm terjadi penurunan mortalitas menjadi 70 persen tetapi kembali meningkat pada konsentrasi 25 ppm sebesar 80 persen. Sedangkan pada konsentrasi 50 ppm meningkat sebesar 82 persen dan kemudian menurun sebesar 80 persen pada konsentrasi 100 ppm. Penurunan mortalitas dengan semakin meningkatnya konsentrasi ini diduga karena ekstrak kasar masih banyak mengandung senyawa yang bekerja saling kontraproduktif satu sama lainnya. Nilai LC50 ekstrak kloroform dari hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 adalah 1.88 ppm yang berarti mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 1.88 ppm. Nilai LC50 ini termasuk dalam kategori sangat toksik karena nilai LC50-nya dibawah 30 ppm.
Untuk hasil persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak aseton berkisar antara 88-96 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 90 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 88 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 96 %. Hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak aseton disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini.
Gambar 5.2. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi dosis ekstrak aseton dari S cristaefolium.
Berdasarkan nilai LC50 hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 pada ekstrak aseton yaitu sebesar 3,97 ppm menunjukkan bahwa angka mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 3,97 ppm. Berdasarkan nilai LC50 maka ekstrak aseton termasuk dalam kategori sangat toksik karena berada dibawah 30 ppm (Meyer et. al, 1982).
Hasil uji toksisitas ekstrak metanol, menunjukkan persentase mortalitas larva A. salina berkisar antara 80-92 %. Secara berurutan, konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 80 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 84 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 92 %. Grafik hubungan antara persentase kematian dengan konsentrasi dosis ekstrak metanol disajikan pada Gambar 5.3 berikut ini.
Gambar 5.3. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak metanol dari S. cristaefolium.
Hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 diperoleh nilai LC50 dari ekstrak metanol yaitu sebesar 3.02 ppm. Ini berarti bahwa mortalitas hewan uji sebesar 50 persen dicapai pada saat konsentrasi dosis ekstrak metanol sebsar 3.02 ppm. Berdasar pada nilai LC50 ini maka ekstrak metanol dikategorikan sebagai sangat toksik.
Dari hasil analisa data uji toksisitas ini, memperlihatkan bahwa semakin besar nilai konsentrasi dosis ekstrak, maka mortalitas larva A. salina juga semakin besar. Hal ini sejalan dengan Harbone (1994), bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya juga semakin tinggi. Mortalitas pada perlakuan pemberian ekstrak disebabkan oleh pengaruh sifat toksik dari ekstrak yang terlarut dalam media hidup larva tersebut.
Menurut Meyer et. al, (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa.
Lebih jauh, Meyer (1982) dan Anderson (1991) menjelaskan bahwa aktifitas ketoksikan suatu ekstrak dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% larva uji pada konsentrasi kurang dari 1000 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh dari ketiga ekstrak yang diujikan maka dinyatakan bersifat sangat toksik. Ekstrak kloroform mencapai nilai LC50 pada konsentrasi 1,88 ppm, ekstrak aseton pada konsentrasi 3,97 ppm dan ekstrak metanol pada konsentrasi 3,02 ppm.
Ekstrak yang paling toksik dapat dilihat dari kemampuan menyebabkan kematian hewan uji yang lebih besar dengan semakin kecilnya konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa secara berturut-turut ekstrak paling toksik berdasarkan nilai LC50 adalah ekstrak kloroform dengan nilai 1,88 ppm, diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai 3,02 ppm dan ekstrak aseton dengan nilai 3,97 ppm.
Berdasarkan data tersebut, ketiga fraksi ekstrak kasar yang diujikan dari alga coklat S. cristaefolium ini memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak dapat dikategorikan sangat toksik karena memiliki nilai LC50 dibawah 30 ppm.
Senyawa bioaktif selalu selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu, daya bunuh in vivo dari senyawa dari organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktifitas dan juga untuk memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian (Meyer. et al. 1982).
Persentase mortalitas A. salina oleh ekstrak kloroform memperlihatkan nilai LC50 yang lebih toksik (1,88 ppm) disebabkan karena senyawa-senyawa non polar yang terlarut dalam ekstrak kloroform tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk masuk dalam membran sel melalui proses difusi pada daerah ekor (tail) yang bersifat hidropobik pada phospolipid bilayer. Hal ini mengakibatkan sel lebih cepat mengalami kerusakan atau mati dalam proses difusi senyawa-senyawa non polar dari ekstrak kloroform. Disisi lain, senyawa-senyawa polar tidak mudah berdifusi memasuki dinding sel (membran) dimana senyawa polar ini berada pada posisi kepala (head) yang bersifat hidropilik. Hal ini mengakibatkan senyawa polar lebih sulit untuk masuk dalam dinding sel sehingga nilai ketoksikan senyawa polar lebih rendah daya rusaknya terhadap sel.
Proses difusi pada sel terjadi akibat kecenderungan dari substansi yang bergerak dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang rendah. Struktur membran sel yang memiliki dua lapisan lipid (phospolipid bilayer) dimana molekul lipid mempunyai satu bagian kepala bundar yang polar (globular head polar) yang mengandung grup NH3 pada bagian luar dan daerah dua ekor yang mengandung asam lemak non polar yang bersifat hidropobik pada permukaan bagian dalamnya memudahkan molekul-molekul non polar berdifusi sedangkan molekul polar tidak bisa berdifusi langsung.
Pelarut non polar hanya dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar sehingga pelarut polar tidak dapat bercampur dengan pelarut non polar didalam phospolipid bilayer. Pelarut polar tidak dapat memasuki membran sel lipid tampa bantuan dari protein pembawa (carrier). Tidak semua molekul dapat memasuki membran phospolipid termasuk gradient elektrokimia dan ukurannya. Molekul yang lebih kecil dan non polar dapat dengan mudah masuk ke dalam phospolipid bilayer lewat proses difusi karena kesamaan polaritasnya. Sedangkan pelarut molekul polar tidak dapat masuk dalam membran plasma hanya dengan proses difusi, melainkan dengan proses endocytosis, difusi yang difasilitasi dan transport aktif (Prashant, et. al., 2009)
Salah satu organisme yang sangat sesuai dengan hewan uji tersebut adalah Brine Shrimp (udang laut). Brine shrimp test sudah digunakan untuk berbagai sistem bioassay yaitu untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, ananstetik, toksik dinoflagellata senyawa yang berupa morfin, tosksisitas pada dispersant minyak dan kokarsinogenik ester phorbol. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay, metode brine shrimp telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan antobiotik pada ekstrak jamur (Abdi, 2001 dalam Lenny, 2006)
Uji tahap lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak yang aktif dilakukan pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium karena ekstrak metanol merupakan ekstrak yang bersifat polar. Pelarut polar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam terutama senyawa fenol dan flavonoid. (Harbone, 1987)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji toksisitas ekstrak metanol alga coklat S. cristaefolium maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak kasar senyawa dari S. cristaefolium diperoleh nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yaitu ekstrak kloroform sebesar 1, 88 ppm yang merupakan ekstrak paling toksik, diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai sebesar 3,20 ppm dan ekstrak aseton sebesar 3,97 ppm.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak senyawa dari S. cristaefolium mempunyai prospek dapat dikembangkan sebagai sumber senyawa bioaktif dalam dunia farmasi, misalnya sebagai antitumor atau antikanker.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap masing-masing ekstrak (kloroform, aseton dan metanol) dengan menggunakan konsentrasi (dosis) dibawah 6,25 ppm terkait dengan potensi dan prospeknya sebagai sumber senyawa bioaktif bahan alam yang memiliki peran dalam dunia farmasi mengingat sifatnya yang sangat toksik.
Selain itu, disarankan untuk melakukan kajian-kajian terhadap manfaat alga coklat S. cristaefolium sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. S. cristaefolium pada saat ini belum dimanfaatkan dengan optimal meskipun jumlahnya sangat melimpah diperairan laut Indonesia. Pemanfaatan S. cristaefolium dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
PUSTAKA
Fahri, M, 2010. Thesis. Unpublication.
Read More......