by. elfahry bima
Kanker merupakan suatu penyakit sel yang ditandai dengan hilangnya fungsi kontrol sel terhadap regulasi daur sel maupun fungsi homeostatis sel pada organisme multiseluler. Dengan kegagalan tersebut, sel tidak dapat berproliferasi secara normal. Akibatnya, sel akan berproliferasi terus-menerus sehingga menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal.
Pertumbuhan kanker merupakan sebuah proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan ini dinamakan karsinogenesis. Usaha penyembuhan penyakit kanker sangat sulit karena kompleksnya mekanisme molekuler yang menyertainya.
Dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler, pengetahuan tentang mekanisme molekuler yang dapat mencetuskan terjadinya kanker dapat berkembang pula. Dengan demikian, dapat diketahui berbagai alternatif jalur yang dapat ditempuh untuk pengembangan obat untuk terapi kanker .
Menurut Hanahan dan Weinberg (2000), sel kanker memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.Sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri. Sinyal pertumbuhan diperlukan agar sel dapat terus membelah. Berbeda dari sel normal, sel kanker dapat tetap dan terus tumbuh.
2.Tidak sensitif terhadap sinyal antipertumbuhan. Sel kanker tidak merespon adanya sinyal yang dapat menghentikan terjadinya pertumbuhan dan pembelahan sel. Dengan demikian, sel kanker dapat terus membelah.
3.Sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis. Apoptosis merupakan program bunuh diri sel ketika sel tersebut mengalami kerusakan, baik struktural maupun fungsional, yang tidak dapat ditolerir lagi. Namun sel kanker dapat menghindar dari kematian dengan mengeblok jalur terjadinya apoptosis di dalam sel.
4. Sel kanker memiliki potensi tak terbatas untuk mengadakan replikasi.
5.Sel kanker mampu menginduksi angiogenesis untuk mencukupi kebutuhannya akan oksigen dan nutrisi. Pada tahap perkembangan tumor yang hiperproliferatif, sel-sel tumor akan mengekspresikan protein proangiogenik sehingga akan terbentuk cabang baru pada pembuluh darah yang menuju sel kanker yang kemudian akan mensuplai kebutuhan nutrisi dan oksigen dari sel kanker.
6.Sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak sebar .
Obat Kanker yang Telah Dikembangkan
Beberapa obat antikanker yang telah dikembangkan saat ini antara lain berupa obat yang merangsang diferensiasi sel sehingga akan terjadi perubahan sifat dari sel kanker yang ganas menjadi sel jinak, obat yang dapat meningkatkan efektivitas radiasi dan obat yang mengubah respon imun sel kanker dengan sel sehat. Selain itu, telah banyak obat-obatan yang dikembangkan berdasarkan aktivitas molekuler dari sel kanker. Namun, obat-obatan tersebut mengalami permasalahan dalam hal resistensi dan toleransi obat serta selektivitas obat itu sendiri disamping dari berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan .
Beberapa Macam Obat yang Telah Banyak Digunakan dalam Terapi Kanker
No Golongan Sub Golongan Obat
1Alkilator Mustar nitrogen
Derivat etilenamin
Alkil sulfonat
Nitrosourea Mekloretamin, Siklofosfamid, Klorambusil, Mustar Urasil.
Trietilenmelamin (TEM), Trietilentiofosforamid (tio-TEPA)
Busulfan
Karmustin (BCNU), Lomustin (CCNU), Semustin (metil CCNU)
2Antimetabolit Analog pirimidin
Analog purin
Antagonis folat 5-Fluorourasil, Sitarabin, 6-Azauridin, Floksuridin (FUDR).
6-Merkaptopurin, 6-Tioguanid (T6)
Metotreksat (MTX)
3Antibiotik Daktinomisin, Mitomisin, Antrasiklin (Doksorubisin, Daunorubisin), Mitamisin, Bleomisin
4Hormon Hormon adrenokortikosteroid
Progestin
Estrogen
Inhibitor Estrogen
Androgen
Inhibitor Androgen Prednison
Hidroksiprogesteron Kaproat, Hidroksiprogesteron Asetat, Megestrol Asetat
Dietilstilbestrol, Etinil Estradiol
Tamoksifen
Testosteron Propionat, Fluoksimesteron
Flutamid
5Isotop Radioaktif Fosfor
Iodin Natrium Fosfat (P32)
Natrium Iodida (I131)
6 Lain-lain Substitusi urea
Derivat metilhidrazin
Sejenis alkilator Hidroksiurea
Prokarbazin
Sisplatin
Berbagai penelitian juga telah dilakukan dalam rangka pemanfaatan senyawa alam untuk terapi kanker. Penelitian-penelitian tersebut masih terus dikembangkan untuk menemukan obat kanker yang optimal dalam terapi.
Beberapa Macam Obat Alami yang Berpotensi dalam Terapi Kanker.
No Golongan Senyawa
1 Alkaloid Vinca Vinblastin (VLR), Vinkristin (VCR), Vindesin
2 Epipodofilotoksin Etoposid, Teniposid
3 Taksan Paklitaksel, Dosetaksel
4 Turunan Kamfotekin Kamtotekin, Irinotekan
1. Kanker Hepar
1.Tinjauan Umum
Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam dalam dunia kesehatan. WHO dalam siaran persnya 3 April 2003 menyatakan bahwa lima besar kanker di dunia adalah kanker paru, kanker payudara, kanker usus besar (colorectal), kanker lambung dan kanker hepar. Pada bulan Nopember 2004 dilaporkan bahwa kanker hepar merupakan kanker dengan pertumbuhan tercepat diantara jenis kanker yang lain di Amerika Serikat (Kerr, 2004). Insidensi kanker hepar di Asia Selatan, Asia Tenggara, China, dan daerah Sub Sahara sendiri lebih tinggi dibandingkan kasus kanker hepar negara industri seperti Amerika (Anonim, 2004).
Sel-sel pada hati akan memperbanyak diri untuk menggantikan sel-sel yang rusak karena luka atau karena sudah tua. Seperti proses pembentukan sel lain di dalam tubuh, proses ini juga dikontrol oleh gen-gen tertentu dalam sel. Kanker hati berasal dari satu sel yang mengalami perubahan mekanisme kontrol dalam sel yang mengakibatkan pembelahan sel yang tidak terkontrol. Sel abnormal tersebut akan membentuk jutaan kopi, yang disebut klon. Mereka tidak dapat melakukan fungsi normal sel hati dan terus menerus memperbanyak diri. Sel-sel tidak normal ini akan membentuk tumor (Anonim, 2004).
Kanker hepar dapat bermula dari organ bagian hepar (hepatocellular cancer) atau dapat juga berasal dari organ lain, misalnya dari kolon, yang menyebar ke hati (metastatic liver cancer). Kanker yang berasal dari organ hepar sering disebut sebagai kanker hepar dan merupakan jenis kanker kelima yang memiliki insidensi terbesar di dunia. Penyakit yang sering berhubungan dengan kanker hepar antara lain virus hepatitis dan sirosis hati (Bruix dan Sherman., 2005).
Tumor hati jinak (benign) yang sering ditemui adalah hemangiomas (yaitu kumpulan dari pembuluh darah abnormal yang membengkak), dan adenomas ( yaitu kumpulan atau benjolan jaringan hati). Sedangkan kanker hati yang sering terjadi adalah hepatocellular carcinoma (HCC) (80% kasus) yang muncul dari sel hati itu sendiri dan dikenal sebagai hematoma.
Cholangiocarcinoma (15% kasus) berasal dari kelenjar empedu di hati. Klatskin tumor merupakan cholangiocarcinoma yang terletak di perbatasan antara empedu dengan hati. Kanker hati yang jarang terjadi antara lain angiocarcinoma (berasal dari pembuluh darah di hati), Lymphomas (berasal dari sel-sel imun di hati) , dan carcinoids (berasal dari hormon yang dibuat oleh sel hati) (Anonim, 2004).
2.Penyebab
Penyebab kanker hepar secara umum adalah infeksi virus hepatitis B dan C, cemaran aflatoksin B1, sirosis hati, infeksi parasit, alkohol serta faktor keturunan (Fong, 2002). Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan penyebab kanker hepar yang utama didunia, terutama pasien dengan antigenemia dan juga mempunyai penyakit kronik hepatitis. Pasien laki-laki dengan umur lebih dari 50 tahun yang menderita penyakit hepatitis B dan C mempunyai kemungkinan besar terkena kanker hepar (Tsukuma dkk., 1993; Mor dkk., 1998).
Gejala kanker hepar pada awalnya tanpa keluhan atau hanya sedikit keluhan seperti lesu, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Kanker hepar dapat diketahui dengan diagnosa menggunakan radiologi, biopsi hepar, dan serologi (Bruix dan Sherman, 2005).
3.Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko menyebabkan kanker hati , antara lain :
a. Hepatitis kronis dapat menyebabkan perubahan sel kanker yang berhubungan dengan tipe kanker hati yang paling umum yaitu hematoma. Biasanya disebabkan oleh hepatitis B dan karsinogen (zat kimia yang menginduksi kanker) seperti aflatoksin.
b. Sirosis hati, yang biasa disebabkan oleh alkohol, hemochromatosis, defisiensi Alpha 1-antitrypsin.
c. Miscellaneous irritant seperti polivinil klorida, thorotrast, dan radiasi.
(Anonim, 2004)
4.Stadium
Kanker hepar memiliki beberapa stadium perkembangan yaitu; (a) stadium 1, kanker berukuran tidak lebih dari 2 cm dan belum menyebar. Stadium ini pasien kanker hepar dapat beraktivitas dan hidup secara normal, (b) stadium 2, kanker mempengaruhi pembuluh darah di hepar atau terdapat lebih dari satu tumor di hepar, (c) stadium 3A, kanker berukuran lebih dari 5 cm dan telah menyebar ke pembuluh darah di dekat hepar, (d) stadium 3B, kanker telah menyebar ke organ terdekat seperti lambung namun belum mencapai limfonodus, (e) stadium 3C, kanker berada dalam berbagai ukuran dan telah mencapai limfonodus, (f) stadium 4, kanker telah menyebar ke organ yang jauh dari hepar misal paru-paru. Saat stadium ini pasien kanker hepar sudah tidak dapat beraktivitas lagi (Fong, 2002; Bruix dan Sherman., 2005).
5.Mekanisme molekuler kanker
Peningkatan atau penurunan ekspresi protein sering terjadi pada kasus kanker hepar. Protein yang mengalami upregulasi seperti COX-2 (Qiu dkk., 2002), protein siklus sel, faktor pertumbuhan, dan protein antiapoptosis (King, 2000). Peningkatan ekspresi dan atau mutasi pada N-ras juga ditemukan pada kanker hepar (Adjei, 2001). Selain itu juga terjadi aneuploidi dan perubahan genetik seperti mutasi p53 pada kanker hepar (Kim dan Wang, 2003).
Pada HCC telah diketahui adanya Ras yang termutasi, tetapi relative berbeda dengan kanker lain seperti kanker colorectal (Macdonald dan Ford, 1997). Ekspresi Ras yang berlebihan ini dapat menaikkan jumlah Myc dalam semua kasus pada HCC dan memberikan kesan bahwa 2 onkogen ini dapat bekerja sama satu dengan yang lain (Macdonald dan Ford, 1997). Gen tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya infeksi virus Hepatitis B dan Hepatitis C. Hal ini memberi kesan bahwa gen tersebut dapat diaktivasi oleh virus tersebut secara spesifik (Macdonald dan Ford, 1997).
Studi kinetik kanker menemukan adanya berbagai jenis onkogen yang berperan dalam karsinogenesis di hepar. Overekspresi N-ras dan c-myc oleh senyawa karsinogen merupakan abnormalitas genetik yang sering terjadi pada kanker (Peters dan Vousden, 1997). CYP1A2 di hepar telah diketahui dapat mengaktivasi senyawa prokarsinogen (benzo(a)pyrene) menjadi intermediet reaktif yang berinteraksi dengan nukleofil selular dan akhirnya memicu karsinogenesis dengan ditandai terjadinya overekspresi N-Ras dan c-myc (Kawajiri et al., 1993).
Selain itu ditemukan insiden yang tinggi pada titik mutasi kodon spesifik di p53 suatu tumor supresor gene, pada hepatoseluler yang secara epidemiologis berkaitan dengan aflatoksin (Underwood, 1996). Mutasi pada p53 merupakan penyebab utama kasus kanker hepar di Asia Selatan dan Asia Tenggara (King, 2000).
6.Pencegahan
7.Pengobatan
Pengobatan yang telah dilakukan sampai saat ini adalah dengan kemoterapi dengan obat sitostatik seperti 5-Fluorourasil secara intra arterial, embolisasi, radioimunoterapi dan pembedahan. Pasien yang tidak menjalani terapi biasanya meninggal dalam jangka 3-4 bulan, sedangkan pasien yang diterapi mungkin dapat hidup 6-18 bulan jika terapi berjalan dengan baik (Anonim, 2001). Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan kekerapan kanker hepar adalah dengan imunisasi Hepatitis B. Negara yang program imunisasi Hepatitis B berjalan baik terbukti kekerapan kanker hepar menurun dengan nyata (Anonim, 2003).
2. Kanker Leher Rahim (Serviks)
Kanker leher rahim adalah tumor ganas/karsinoma yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukan bahwa kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Anonim, 2007).
90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa (pada jaringan epitel) yang melapisi serviks sedangkan 10% berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim (Anonim, 2005).
INSIDENSI KANKER LEHER RAHIM
Pada tahun 2008, kasus Kanker Leher Rahim masih menduduki peringkat pertama insidensi kanker di Indonesia. Menurut sumber yang didapat, wanita yang telah terserang kanker ini lebih dipicu lagi dengan kebiasaan mereka akan merokok (Anonim, 2007).
Menurut para ahli kanker, kanker leher rahim adalah salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan disembuhkan dari semua kasus kanker. Meskipun demikian, di wilayah Australia barat, tercatat sebanyak 85 orang wanita didiagnosa positif terhadap kanker leher rahim setiap tahun. Dan pada tahun 1993, 40 wanita telah tewas menjadi korban keganasan kanker ini (Yohanes, 2000).
PENYEBAB
Penyebab paling utama kanker servik adalah anggota famili Papovirida yaitu HPV (Human Papiloma Virus) yang mempunyai diameter 55 µm dan virus ini ditularkan secara seksual. HPV memiliki kapsul isohedral yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA circular double stranded dengan panjang kira - kira 8000 pasang basa (La Russo, 2004; Sjamsuddin, 2001).
Berdasarkan penelitian Sjamsuddin (2001), disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker serviks, yaitu : 1) HPV resiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 yang jarang ditemukan pada karsinoma invasif ; 2) HPV resiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58 ; 3) HPV resiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31. Ketiga jenis HPV ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang abnormal, namun hanya tipe 2 dan 3 yang menyebabakan kanker (Anonim, 2006; Yamato et al., 2006).
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko kanker leher rahim (Anonim, 2008b) :
1. Infeksi virus HPV (Human Papiloma Virus)
2. Penyakit menular seksual
3. Memulai aktifitas seksual pada usia yang sangat muda
4. Berganti-ganti pasangan seks
5. Pemakaian kontrasepsi
6. Pemakaian Dietilstilbestrol (DES)
7. Sering melahirkan
8. Penyakit yang menekan sistem imun
9. Merokok
10. Genetik
Gambar A. Anatomi tubuh wanita (www.medicinenet.com)
Gambar B. Kenampakan leher rahim sehat dan leher rahim yang terkena kanker (www.ehealthmd.com)
STADIUM
Untuk tumbuh menjadi kanker leher rahim dibutuhkan beberapa tahun sejak sel-sel leher rahim mengalami perubahan. Sel-sel leher rahim abnormal yang bukan merupakan sel kanker namun dapat berkembang menjadi kanker disebut dengan cervical intra-epithelial neoplasia (CIN). CIN juga disebut sebagai sel-sel prekanker yang jika tidak ditangani lebih lanjut akan berpotensi untuk berkembang menjadi kanker. Namun tidak semua wanita yang memiliki CIN akan menderita kanker. Keberadaan CIN identik dengan displasia (Anonim, 2003c).
Perkembangan kanker servik meliputi displasia ringan (5 tahun), displasia sedang (3 tahun), displasia berat (1 tahun) sampai menjadi kanker stadium 0. Tahap pra kanker ini sering tidak menimbulkan gejala (92%), selanjutnya masuk tahap kanker invasif berupa kanker stadium I sampai stadium IV (Anonim, 2003).
Menurut International Federation of Gynecologists and Obstetricians, perkembangan kanker leher rahim dibagi menjadi 5 stadium berdasarkan ukuran tumor, kedalaman penetrasi pada leher rahim dan penyebaran kanker di dalam maupun diluar leher rahim. Stadium-stadium tersebut adalah sebagai berikut (Canavan dan Doshi, 2000) :
Stadium 0 Terjadi pertumbuhan kanker (karsinoma) pada jaringan epitel leher rahim
Stadium I Pertumbuhan kanker masih terbatas pada leher rahim
Ia Secara mikroskopis, kanker telah menginvasi jaringan (terjadi penetrasi). Ukuran invasi sel kanker : kedalaman < 5 mm, sedangkan lebarnya < 7 mm
Ia1 Ukuran invasi mempunyai kedalaman < 3 mm dan lebar < 7 mm
Ia2 Kedalaman invasi > 3 mm dan < 5 mm, lebar < 7 mm
Ib Terjadi lesi yang ukurannya lebih besar dari lesi yang terjadi pada stadium Ia
Ib1 Ukuran tumor < 4 cm
Ib2 Tumor > 4 cm
Stadium II Karsinoma meluas sampai keluar leher rahim tetapi belum sampai dinding pelvis; karsinoma menyerang vagina tapi belum mencapai 1/3 vagina bagian bawah
IIa Belum ada parameter yang jelas
IIb Parameter jelas
Stadium III Karsinoma meluas ke dinding pelvis; pada pemeriksaan rektal, tidak terlihat adanya ruang kosong antara tumor dan dinding pelvis; tumor menyerang 1/3 vagina bagian bawah; pada semua kasus juga ditemukan adanya hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi
IIIa Kanker tidak menjalar ke dinding pelvis, tapi menyerang 1/3 vagina bagian bawah
IIIb Menjalar ke dinding pelvis, terjadi hidronefrosis atau kegagalan fungsi ginjal, atau keduanya
Stadium IV Karsinoma meuas melewati pelvis atau mukosa kandung kemih atau rektal
IVa Menyebar ke organ yang berdekatan
IVb Menyebar ke organ yang jauh
MEKANISME MOLEKULER
Kanker leher rahim yang disebabkan oleh beberapa tipe human papillomavirus (HPV) beresiko tinggi seperti HPV16 dan HPV18 memiliki onkogen E6 dan E7 dimana kedua ekspresi gen ini menjadi prasyarat bagi perkembangan kanker dan pertahanan fenotip malignan. Pemusnahan kedua onkogen ini dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada terapi molekuler kanker servik (Yamato et al., 2006).
1. Protein E6 dan E7 dari HPV memodulasi protein seluler yang mengatur daur sel.
a. Berikatan dengan protein selular yang disebut E6-associated protein (E6-AP) membentuk ubiquitin ligase E3 dengan target degradasi tumor suppressor p53 (Gewin et al., 2004). Degradasi p53 mengakibatkan sel tidak mengalami apoptosis ataupun memasuki cell cycle arest pada G1/S.
b. Menginduksi protein c-myc yang dapat memacu enzim telomerase yang menyebabkan sel bersifat immortal. Menstimulasi ekspresi eksogenus gen hTERT (human telomerase reverse transcriptase) yang mengkode subunit katalitik dari telomerase (Horner et al., 2004) selain itu induksi telomerase juga terjadi melalui perantara kompleks E6-AP (Gewin et al., 2004).
2.Protein E7
a. Mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari p105Rb dan anggota-anggota famili retinoblastoma (Rb) lainnya dari protein tumor supresor mengakibatkan destabilisasi dan hilangnya kompleks pRb/E2F dimana kompleks pRb/E2F berfungsi menekan transkripsi gen yang dibutuhkan untuk progresi siklus sel. Jalur p53 dan pRb saling berhubungan satu sama lain: fosforilasi p105Rb yang mengakibatkan lepasnya kompleks Rb/E2F diperantarai oleh cyclin-dependent kinase (cdk) dihambat oleh p21 yang merupakan target transkripsi dari p53. Protein E6 dan E7 juga menunjukkan ketidaktergantungannya pada aktivitas p53 dan pRb (DeFilippis et al., 2003).
b.Protein E7 dapat menginhibisi p21 dan p27 (Fehrman, 2003).
Sebagian besar sel kanker servik mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000). Apabila ekspresi onkogen E6 dan E7 dihambat, maka protein tumor supresor p53 dan retinoblastoma aktif dan sel kanker servik mengalami senescence yang kemudian menyebabkan apoptosis (Horner et al., 2004).
Genom papilomavirus bereplikasi seperti plasmid ekstrakromosomal pada lesi premalignan dan juga terintegrasi pada sebagian besar karsinoma leher rahim secara acak. (Dalimartha, 1999; Matsukura et al., 1989). Genom virus yang terintegrasi ini akan memberikan mekanisme :
Ekspresi E6 dan E7 dihambat oleh E2. E2 dapat menekan ekspresi E6 dan E7 karena E2 akan berikatan pada promotor awal HVP, sehingga akan menghalangi ikatan dua faktor transkripsi esensial, TBP dan Sp1 (Desaintes et al., 1999). Namun, E2 tidak diekspresikan pada viral DNA yang terintegrasi ada genom sel inang, karena gen E2 mengalami splitting dan menjadi in aktif. Akibatnya, dalam keadaan tanpa repressor, protein E6 dan E7 terekspresi dalam jumlah tinggi sehingga menyebabkan tumor suppressor protein, yaitu p53 dan p105Rb tidak aktif dan menstimulasi pertumbuhan (Hwang et al., 1993).
CARA DETEKSI KANKER LEHER RAHIM
Layaknya semua kanker, terjadinya kanker leher rahim ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel pada leher rahim yang tidak lazim (abnormal). Tetapi sebelum sel-sel tersebut menjadi sel-sel kanker, terjadi beberapa perubahan yang dialami oleh sel-sel tersebut. Perubahan sel-sel tersebut biasanya memakan waktu sampai bertahun-tahun sebelum sel-sel tadi berubah menjadi sel-sel kanker. Selama jeda tersebut, pengobatan yang tepat akan segera dapat menghentikan sel-sel yang abnormal tersebut sebelum berubah menjadi sel kanker. Sel-sel yang abnormal tersebut dapat dideteksi kehadirannya dengan suatu test yang disebut “Pap smear test”, sehingga semakin dini sel-sel abnormal tadi terdeteksi, semakin rendahlah resiko seseorang menderita kanker leher rahim.
Pap smear test merupakan suatu test yang aman, cepat dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim. Test ini ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicolou, sehingga dinamakan Pap smear test. Pap smear test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut. Dalam keadaan berbaring terlentang, sebuah alat yang dinamakan spekulum akan dimasukan kedalam liang senggama. Alat ini berfungsi untuk membuka dan menahan dinding vagina supaya tetap terbuka, sehingga memungkinkan pandangan yang bebas dan leher rahim terlihat dengan jelas. Sel-sel leher rahim kemudian diambil dengan cara mengusap leher rahim dengan sebuah alat yang dinamakan spatula, suatu alat yang menyerupai tangkai pada es krim, dan usapan tersebut dioleskan pada obyek-glass, dan kemudian dikirim ke laboratorium patologi untuk pemeriksaan yang lebih teliti (Dolinsky, 2002).
Prosedur pemeriksaan Pap smear test mungkin sangat tidak menyenangkan, tetapi tidak akan menimbulkan rasa sakit. Pap smear test dilakukan seminggu atau dua minggu setelah berakhirnya masa menstruasi. Bagi orang yang telah tidak haid, Pap smear test dapat dilakukan kapan saja. Tetapi jika kandung rahim dan leher rahim telah diangkat atau dioperasi (hysterectomy atau operasi pengangkatan kandung rahim dan leher rahim), Pap smear test tidak perlu lagi dilakukan karena secara otomatis orang tersebut telah terbebas dari resiko menderita kanker leher rahim. Pap smear test biasanya dilakukan setiap dua tahun sekali, dan lebih baik dilakukan secara teratur. Hal yang harus selalu diingat adalah tidak ada kata terlambat untuk melakukan Pap smear test. Pap smear test selalu diperlukan meskipun tidak lagi melakukan aktifitas seksual (Anonim, 2003b).
Jika terjadi pendarahan setelah aktivitas sexual atau diantara masa menstruasi terjadi dan terjadi keluarnya cairan (discharge) maka harus segera dilakukan pemeriksaan ke dokter. Adanya perubahan tersebut bukanlah suatu hal yang normal, dan pemeriksaan yang teliti harus segera dilakukan walaupun baru saja melakukan Pap smear test.
Hasil ‘Pap Smear’ dikatakan abnormal jika sel-sel leher rahim ketika diperiksa di bawah mikroskop akan memberikan penampakan yang berbeda dengan sel normal. Kejadian ini biasanya terjadi 1 dari 10 pemeriksaan ‘Pap Smear’ (Sofyan, 2000). Beberapa faktor yang dapat memberikan indikasi diketemukannya penampakan ‘Pap Smear’ yang abnormal adalah:
1.Unsatisfactory ‘Pap Smear’. Pada kasus ini, berarti pegawai di Lab tersebut tidak bisa melihat sel-sel leher rahims dengan detail sehingga gagal untuk membuat suatu laporan yang komprehensive kepada dokter. Oleh karena itu harus dilakukan Pap Smear test kembali (Sofyan, 2000).
2.Jika ada infeksi atau inflamasi. Kadang-kadang pada pemeriksaan ‘Pap Smear’ memberikan penampakan terjadinya inflamasi. Ini berarti bahwa sel-sel di dalam leher rahim mengalami suatu iritasi yang sifatnya ringan. Memang kadang-kadang inflamasi dapat kita deteksi melalui pemeriksaan ‘Pap Smear’, biarpun kita tidak merasakan keluhan-keluhan karena tidak terasanya gejala klinis yang ditimbulkannya. Sebabnya bermacam-macam, mungkin telah terjadi infeksi yang dikarenakan oleh bakteri, atau karena jamur’. Oleh karena itu harus dilakukan Pap Smear test kembali setelah infeksi atau inflamasi sembuh (Sofyan, 2000).
3.Atypia atau Minor Atypia. Yang dimaksud dengan keadaan ini adalah jika pada pemeriksaan ‘Pap Smear’ terdeteksi perubahan-perubahan sel-sel leher rahim, tetapi sangat minor dan penyebabnya tidak jelas. Pada kasus ini, biasanya hasilnya dilaporkan sebagai ‘atypia’. Biasanya terjadinya perubahan penampakan sel-sel tersebut dikarenakan adanya peradangan, tetapi tidak jarang pula karena infeksi virus. Karena untuk membuat suatu diagnosa yang definitif tidak memungkinkan pada tahap ini, sehingga harus dilakukan pemeriksaan lagi dalam waktu enam bulan. Pada umumnya, sel-sel tersebut akan kembali menjadi normal lagi. Jadi, sangat penting melakukan ‘Pap Smear’ kembali untuk memastikan bahwa kelainan-kelainan yang tampak pada pemeriksaan pertama tersebut adalah gangguan yang tidak serius. Jika hasil pemeriksaan menunjukan hasil yang sama maka disarankan untuk menjalani kolposkopi (Sofyan, 2000).
Kolposkopi adalah suatu prosedur pemeriksaan vagina dan leher rahim oleh seorang dokter yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Dengan memeriksa permukaan leher rahim, dokter akan menentukan penyebab abnormalitas dari sel-sel leher rahims seperti yang dinyatakan dalam pemeriksaan ‘Pap Smear’. Cara pemeriksaan kolposkopi adalah sebagai berikut: dokter akan memasukkan suatu cairan kedalam vagina dan memberi warna saluran leher rahim dengan suatu cairan yang membuat permukaan leher rahim yang mengandung sel-sel yang abnormal terwarnai. Kemudian dokter akan melihat kedalam saluran leher rahim melalui sebuah alat yang disebut kolposkop. Kolposkop adalah suatu alat semacam mikroskop binocular yang mempergunakan sinar yang kuat dengan pembesaran yang tinggi (Anonim, 2003b).
Jika area yang abnormal sudah terlokalisasi, dokter akan mengambil sampel pada jaringan tersebut (melakukan biopsi) untuk kemudian dikirim ke lab guna pemeriksaan yang mendetail dan akurat. Pengobatan akan sangat tergantung sekali pada hasil pemeriksaan kolposkopi (Yohanes, 2000).
PENCEGAHAN
Yang harus dilakukan untuk menghindari kanker leher rahim adalah pertama, jika pernah melakukan hubungan seksual maka harus melakukan Pap smear test secara teratur setiap dua tahun dan ini dilakukan sampai berusia 70 tahun. Pada beberapa kasus mungkin dokter menyarankan untuk melakukan Pap smear test lebih sering. Hal yang ke dua adalah melaporkan adanya gejala-gejala yang tidak normal seperti adanya perdarahan, terutama setelah coitus (senggama). Hal yang ke tiga adalah tidak merokok. Data statistik melaporkan bahwa resiko terserang kanker leher rahim akan menjadi lebih tinggi jika wanita merokok. Dengan melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkecil resiko tersebut, maka kejadian kanker leher rahim ini dapat dihindari (Zhao, 2004).
PENGOBATAN
Terapi untuk kanker leher rahim berbeda untuk tiap stadium kanker. Pada stadium awal dapat dilakukan pembedahan terhadap jaringan yang mengandung sel kanker. Pada stadium selanjutnya, terapi dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi, maupun kemoradioterapi. Jenis terapi ini dapat berpengaruh pada sel normal (La Russo, 2004).
Jika perubahan awal sel leher rahim telah diketahui, pengobatan yang umum diberikan adalah dengan:
1.Pemanasan, diathermy atau dengan sinar laser.
2.Cone biopsi, yaitu dengan cara mengambil sedikit dari sel-sel leher rahim, termasuk sel yang mengalami perubahan. Tindakan ini memungkinkan pemeriksaan yang lebih teliti untuk memastikan adanya sel-sel yang mengalami perubahan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh ahli kandungan (Anonim, 2007).
Jika perjalanan penyakit telah sampai pada tahap pre-kanker, dan kanker leher rahim telah dapat diidentifikasi, maka untuk penyembuhan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
1.Operasi, yaitu dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher rahimnya.
2.Radioterapi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang dapat dilakukan secara internal maupun eksternal (Tyagi, 2000).
3. Kanker Paru
Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, sebanyak 17% insidensi terjadi pada pria (peringkat kedua setelah kanker prostat) dan 19% pada wanita (peringkat ketiga setelah kanker payudara dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004). Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70 % kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (Anonim, 2006).
Kanker paru dapat disebabkan karena berbagai faktor, antara lain yaitu asap rokok dan perubahan genetik. Merokok adalah penyebab utama terjadinya kanker paru pada 80-90% kasus kanker paru meskipun hanya 10-15% perokok terserang kanker paru (Kopper and Timar, 2005). Asap rokok telah terbukti merupakan penyebab utama timbulnya kanker paru, baik pada perokok aktif maupun pasif. Angka kesakitan dan kematian akibat kanker paru meningkat sebanding dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari, usia saat mulai merokok, dalamnya hisapan, lama kebiasaan merokok dan tingginya zat-zat karsinogen dalam tar pada asap rokok. Zat-zat karsinogen tersebut antara lain naftilamin, pirena, toluidin, dibenzacridin, kadmium, benzo[a]pirena, vinilklorida, dan polonium-210 (Serpi, 2003). Selain itu asap rokok diketahui mengandung lebih dari 20 jenis karsinogen terutama tobacco-specific nitrosamine4 - (methylnitrosamino) -1 - (3-pyrydyl) -1- butanon (NKK). Zat karsinogenik tersebut dapat menyebabkan perubahan sel-sel epitel bronkus kearah keganasan.
Sebagian besar kasus kanker paru didiagnosa dari gejala yang muncul, dikaitkan dengan kejadian primer, metastasis atau praneoplastik. Sebagian kanker paru terdapat dalam empat bentuk tipe histologi yang terdiri dari bentuk squamous cell cancer, adenocarcinoma, large cell cancer, yang ketiganya digolongkan dalam non small cell lung cancer (NSCLC). Sedangkan bentuk keempat adalah small cell lung cancer (SCLC) (Minna et al., 2002). Tingkat insidensi kanker paru jenis SCLC mencapai 25% dari kejadian kanker paru, yang mempunyai karakteristik metastasis awal dan sensitive terhadap kemoterapi dan radioterapi (Ancuceanu and Victoria, 2004). Sedangkan kasus NSCLC terjadi pada 15% pasien yang terdiagnosis kanker paru, yang mempunyai karakteristik kurang sensitif terhadap kemoterapi dan radioterapi (Ancuceanu and Victoria, 2004).
Tingkatan stadium kanker paru dibagi menjadi empat (Anonim, 2006) :
Stadium Manifestasi Klinis
Stadium I Pertumbuhan kanker paru masih terbatas pada paru-paru dan dikelilingi oleh jaringan paru-paru
Stadium II Kanker telah menyebar dekat kelenjar getah bening
Stadium IIIa Kanker telah menyebar keluar paru-paru tetapi masih bisa diambil dengan operasi bedah
Stadium IIIb Kanker telah menyebar keluar paru-paru dan tidak bisa diambil dengan operasi bedah
Stadium IV Kanker telah menyebar ke organ/jaringan tubuh yang lain (metastasis)
Perubahan genetik yang terjadi pada kanker paru dikarenakan mutasi pada tumor suppressor gene atau oncogene. Ketidakseimbangan antara kedua gen tersebut memicu berkembangnya sel kanker. Kanker paru terjadi mutasi pada onkogen Ras yang memegang peran penting dalam proliferasi sel dan tranduksi sinyal. Famili gen Ras yang sering mengalami mutasi pada sel kanker adalah H-Ras, K-Ras dan N-Ras. Mutasi yang terjadi pada K-Ras antara lain C sedangkan mutasi pada N-RasA dan transversi GC, transisi Gtransversi G G. Mutasi Ras jarang terjadi pada SCLCG dan transisi Aantara lain transverse T dan terjadi 15-20% NSCLC (Forgacs et al., 2001). Selain Ras, onkogen yang berperan dalam pertumbuhan kanker paru adalah BCl-2 yang menurunkan regulasi apoptosis, kematian sel kanker yang terprogram (Petmirt et al., 2003). Pada penderita kanker paru juga ditemukan adanya mutasi tumor suppressor gene, p53 T sehingga fungsi protein p53 sebagai dalam menekanyaitu transversi G pertumbuhan sel kanker terganggu (Hainaut and Pfeifer, 2001).
Kanker paru dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat dan menghindari kebiasaan merokok. Proteksi terhadap paparan karsingen mutlak diperlukan pada mereka yang bekerja dalam lingkungan yang tercemar polusi industri seperti asbes, uranium, kromium dan senyawa karsinogen yang lain.
Terapi yang paling penting bagi pasien kanker paru adalah kombinasi dari pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Pembedahan adalah pengobatan pasien NSCLC stadium I, II dan beberapa IIIa. Kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan pada pasien dengan stadium penyakit yang terbatas, jika secara fisiologis mereka masih mampu menjalani pengobatan ini. Pasien-pasien dengan stadium penyakit ekstensif ditangani dengan kemoterapi saja. Regimen kombinasi kemoterapi yang sering digunakan adalah siklofosfamid-doksorubisin-vinkristin dan siklofosfamid - doksorubisin-vinkristin-etopoksid. Terapi radiasi juga dipakai untuk profilaksis metastasis ke otak dan untuk penanganan paliatif nyeri, hemoptisis berulang, efusi atau obstruksi saluran nafas (Price and Wilson, 1995).
4. Kanker Mammae (KANKER PAYUDARA)
1. Kelenjar Payudara
Kelenjar payudara merupakan derivatif sel epitel. Struktur anatomi payudara secara garis besar tersusun dari jaringan lemak, lobus dan lobulus (setiap kelenjar terdiri dari 15-25 lobus) yang memproduksi cairan susu, serta ductus lactiferous yang berhubungan dengan glandula lobus dan lobulus yang berfungsi mengalirkan cairan susu, di samping itu juga terdapat jaringan penghubung (konektif), pembuluh darah dan limphe node (Hondermarck, 2003; Bergman et al., (1996). Lobulus dan duktus payudara sangat responsif terhadap estrogen karena sel epitel lobulus dan duktus mengekspresikan reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan kelenjar payudara, dan mammogenesis (Van De Graaff and Fox, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan dengannya maupun dari komponen dalam lingkungan sel tersebut (faktor pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall, 1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem endokrin yang mengontrol perkembangan payudara mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara. Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara berperan penting dalam proses perkembangan tersebut. Gangguan dalam keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000). Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan yang berlebihan dari estrogen endogen dalam fase kehidupan perempuan berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara (Yager and Davidson, 2006).
2. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara, diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2 (HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30% kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Awalnya, proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi atau overekspresi beberapa protein, misalnya reseptor estrogen (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Estrogen berikatan dengan reseptor estrogen (ER) membentuk kompleks reseptor aktif dan mempengaruhi transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam cell cycle progression, seperti Cyclin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinases4), Cyclin E dan CDK2. Aktivasi reseptor estrogen juga berperan dalam aktivasi beberapa onkoprotein seperti Ras, Myc, dan CycD1 (Foster et al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan berlebih melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti PI3K, Akt, Raf dan ERK. Protein Myc merupakan protein faktor transkripsi yang penting untuk pertumbuhan, sedang CycD1 merupakan protein penting dalam kelangsungan cell cycle progression sehingga adanya aktivasi tersebut akan mengakibatkan perkembangan kanker yang dipercepat (Hanahan and Weinberg, 2000). Estrogen akan menstabilkan keberadaan protein Myc. Protein ini sendiri berfungsi dalam menghambat kemampuan CKIKIPI untuk menghambat Cdk2 (Foster et al., 2001), padahal komplek Cyclin E/Cdk2 bertanggung jawab pada proses transisi sel dari fase G1 memasuki fase S (Pan et al., 2002).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22 ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya (Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2 adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari pasangannya, yaitu CtIP (CtBP-Interacting Protein) sehingga BRCA1 dapat mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and Hoffbrand, 1999).
Salah satu model sel kanker payudara yang banyak digunakan dalam penelitian adalah sel MCF7 dan sel T47D. Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang diperoleh dari pleural effusion breast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O, dengan Rh positif. Sel menunjukkan adanya diferensiasi pada jaringan epitel mammae termasuk diferensiasi pada sintesis estradiol. Media dasar penumbuh sel MCF-7 adalah media EMEM terformulasi. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,01 mg/ml bovine insulin dan FBS hingga konsentrasi akhir FBS dalam C dan dengan kadar CO2 5%. Selmedia menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37 MCF-7 tergolong cell line adherent (ATCC, 2008b) yang mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), resisten terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002), dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki dkk., 2003; Prunet dkk., 2005). Karakteristik tersebut membedakannya dengan sel kanker payudara lain, seperti sel T47D.
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS) hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998). Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely, 2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2 ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008b, What Are The Risk Factor for Cervical Cancer, http://www.cancer.org, diakses November 2008.
Anonim, 2007, Kanker : Pertumbuhan, Terapi dan Nanomedis, http://www.nano.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1187593839, diakses 25 Juli 2008.
Anonim, 2006, Human Papillomavirus, www.answers.com/topic/human papillomavirus. diakses 2006.
Anonim, 2005, Kesehatan Wanita /Definisi, http://www.medicastore.com/cybermed/Masalah, diakses 2006.
Anonim, 2003, Bahaya Kanker Rahim Bagi Wanita, http://situs.kesrepro.info/aging /mar/2003/ag03.htm, diakses 2006.
Anonim, 2003b, Deteksi Dini Kanker Leher Rahim, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/22/hikmah/indeks/html, diakses 25 Juli 2008.
Anonim, 2003c, it develops, http://www.cancerbacup.org.uk/Cancertype/Cervix/General/How, diakses 2006.
Canavan, T. P. dan Doshi, N. R., 2000, Cervical Cancer, http://www.aafp.org, diakses 2008.
Dalimartha, S., 1999, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker, Cetakan II, 11, PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
DeFilippis, R.A., Goodwin, E.C., Lingling Wu, dan DiMaio, D., 2003, Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells, J Virol., 77 (2): 1551-1563.
Desaintes, C., Goyat, S., Garbay, S., Yaniv, M., dan Thierney, F., 1999, Papillomavirus E2 Induces p53-Independent Apoptosis in HeLa Cells, Oncogene, 18 : 4583-4545.
Dolinsky, C., 2002, Breast Cancer : The Basic, Abramson Cancer Center of The University of Pensylvania, http://www.oncolink.org, diakses 25 Juli 2008.
Fehrman, F., dan Laimins, L.A., 2003, Human Papillomaviruses: Tergeting Differentiating Ephitelial Cells For Malignant Transformation, Oncogen, 22, 5201-5207.
Gewin, L., Hadley, M., Kiyono, T., dan Galloway, D.A., 2004, Identification of A Novel Telomerase Repressor that Interacts with The Human Papillomavirus Type-16 E6/E6-AP Complex, Gene and Development, 18: 2269-2282.
Goodwin, E.C., DiMaio, D., 2000, Repression of human papillomavirus oncogenes in Hela cervical carcinoma cells causes the orderly reactivation of dormant tumor suppressor pathways, Biochemistry, 97, no.23.
Horner, S.M., DeFilippis, R.A., Manuelidis, L., dan DiMaio, D., 2004, Repression of the Human Papillomavirus E6 Gene Initiates p53-Dependent, Telomerase-Independent Senescence and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells, J. Virology, 78 (8): 4063-4073.
Hwang, E.S., Riese, D.J., Settleman, J., Nilson, L.A., Honig, J., Fyynn, S., dan DiMaio, D., 1993, Inhibition of Cervical Carcinoma Cell Line Proliferation by the Introduction of a Bovine Papillomavirus Regulatory Gene, J. Virology, 67 (7): 3720-3729.
LaRusso, L., 2004, Cervical Cancer (Cancer of The Cervix), http://healthlibrary.epnet.com/print.aspx?token=050d319a-eac2-4088-bf68-b43b73e8cab0&chunkiid=11969, diakses 2006.
Matsukura, T., Koi, S., dan Sugase, M., 1989, Both Episomal and Integrated Forms of Human Papillomavirus Type 16 are Involved in Invasive Cervical Cancers, Virology, 172 (1): 63-72.
Nair, P., Jayaprakash, P.G., Nair, K.M., and Pillai, M.R., 2000, Telomerase, p53 and Human Papillomavirus Infection in the Uterine CervVIII, Acta Oncologica, 39 (1): 65 - 70.
Sjamsuddin, S., 2001, Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks, Cermin Dunia Kedokteran, 133: 8-13.
Sofyan, R., 2002, Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler, Cermin Dunia Kedokteran, 127:5-10.
Tyagi, A. K., Agarwal C., Chan D. C. F., dan Agarwal R., 2004, Synergistic Anti Cancer Effects of Silibinin with Conventional Cytotoxic Agents Doxorubicin, Cisplatin and Carboplatin against Human Breast Carcinoma MCF-7 and MDA-MB468 Cells, Oncology Reports, 11:493-499.
Yamato, K., Fen, J., Kobuchi, H., Nasu, Y., Yamada,T., Nishihara, T., Ikeda, Y., Kizaki, M., and Yoshinouchi M., 2006, Induction of Cell Death in Human Papillomavirus 18-Positive Cervical Cancer Cells by E6 siRNA, Cancer Gene Therapy, 13: 234-241.
Yohanes, R., 2000, The Evaluation of Breast Cancer. New South Wales: Australia ltd.co.al.
Zhao, L., Wientjes, M. G., dan Au J.L-S., 2004, Evaluation of Combination Chemotherapy: Integration of Nonlinear Regression, Curve Shift, Isobologram, and Combination Index Analyses, Clin. Canc. Res., 10:7994-8004.
Adjei, Alex A., 2001, Review: Blocking Oncogenic Ras Signaling for Cancer Therapy, J. Nat. Canc. Inst., 93(14), 1062-1074
Anonim, 2001, Introduction to Liver Cancer, http://www.oncolink.org diakses pada tgl 7 Nopember 2004.
Anonim, 2003, Primary Liver Cancer, http://www.cancerbacup.org.uk diakses pada 20 tgl Nopember 2004.
Anonim, 2005, Liver Cancer, http:/www.cancer.org, diakses pada tanggal 11 Mei 2005.
Bruix, S dan Sherman, M., 2005. Management of Hepatocelluler Carcinoma, Hepatology, 42, 5.
Fong, Tse-Ling, 2002. Hepatocellular Carcinoma (Liver Cancer), dalam www.medicinet.com, September 2007
Kawajiri, K., Nakachi, K., Imai, K., Watanabe, J and Hayashi, S (1993) The CYP1A1 gene and cancer susceptibility. Crit Rev Oncol Hematol 14:77-87.
Kerr, M., 2004, Liver Cancer Fastest Growing Cancer in US, http//:www.nlm.nih.gov diakses pada tgl 2 Desember 2004.
Kim, J.W. dan Wang, X.W., 2003, Gene Expression Profilling of Preneoplastic Liver Desease and Liver Cancer: a new era for imptoved early detection and treatment of these deadly diseases?, Carcin, 24(3), 363-369.
King, R.J.B., 2000, Cancer Biology, 2nd Ed., Pearson Eduation Limited, London.
Macdonald, F., Ford C.H.J., 1997. Molecular Biology of Cancer. Bio Scientific Publisher, Oxford, United Kingdom.
Mor, E., Kaspa, R.T., Sheiner, P dan Schwartz, M., 1998, Treatment of Hepatocellular Carcinoma Associated with Cirrhosis in the Era of Liver Transplantation, Annals Med Rev, 129(8), 643-653.
Qiu, D., Ma, Xiong, Peng, Y., dan Chen, X., 2002, Significance of Cyclooxygenase-2 Expression in Human Primary Hepatocellular Carcinoma, J. Gastroenterol., 8(5), 815-817
Peters, Gordon., dan Vousden, K.H., 1997, Oncogenes dan Tumor Supressors, Oxford University Press, New York.
Tsukuma, H., Hiyama,T., Tanaka, S., Nakao, M., Yabuuchi, T., Kitamura, T., Nakanishi, K., Fujimoto, I., Inoue, A., yamakazi, H & Kawashima, T., 1993, Risk Factors for Hepatocellular Carcinoma among Patients with Chronic Liver Disease, The New England J of Med., 328(25), 1797-1801.
Underwood, J.C.E., 1999, Patologi Umum dan Sistematik (General and Systematic Pathology), Edisi 2, Vol.1, Editor Sarjadi, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
9.Kontributor
Fithriyatun Nisa, Ilyas Pratomo, Perdana Adi Nugroho dan Adam Hermawan
KONTRIBUTOR
Sendy Junedi, Rosana Anna Ashari, Fany Muthia C, Titi Ratna Wijayanti, Esti widayanti, Nur Latifah Sri Wijayanti, Andrrea Thea Rhosita dan Agus Setiawan.
Kontributor : Yudi Afrianto, Muh. Farid Fauzy, Agustina Setiawati
Ancuceanu, R. V., and Victoria, I, 2004, Pharmacologically Active Natural Compounds for Lung
Cancer, Altern. Med. Rev., 9, 4, 402-419.
Anonim, 2006, Kanker Pembunuh Nomor Satu, Info Aktual, Koran media Indonesia, No.9204/Tahun XXXVI
http:/www.litbang.depkes.go.id/actual/kliping/kanker paru diakses tanggal 5 Mei 2006
Forgacs, E., Zochbauer-Muller, S., Olah, E. and Minna, J.D., 2001, Molecular Genetic Abnormalities in tha Pathogenesis of Human Lung Cancer, Pathology Oncology Research, Vol 7, No 1.
Kopper, L. and Timar, J., 2005, Genomics of Lung Cancer may Change Diagnosis, Prognosis and Therapy, Pathology Oncology Research, 11(1)5-10.
Hainaut, P. and Pfeifer, G., 2001, Patterns of p53 G –> T Transversion in Lung Cancer Reflect the Primary Mutagenis Signature of DNA by Tobacco Smoke, Carcinogenesis, 21(23) : 367-374.
Petmitr, S., Wongsommart, D., Chaksangchaichot, P.,Pakeetoot, T., Sutinont, P., Sirivaidyapong, P. and Karalak, A., 2003, Mutational Analysis of Ras Gene Family in Lung Cancer in Thai, Oncology Report, (10):1497-1501
Price, S.A. and Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Serpi, Raisa, 2003, Mechanism of Benzo[a]pyrene-Induced Accumulation of p53 Tumour Suppresor Protein in Mouse, Thesis, Departement of Pharmacology and Toxicology, University of Oulu, Oulu.
--------------------------------------------------------------------------------
**dari berbagai sumber
WELCOME TO MY BLOG ::
OK
Senin, 22 Juni 2009
PENYAKIT KANKER
Label :
Kanker
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda :